Tantangan dari Inklusi Pendidikan Merdeka Belajar

×

Tantangan dari Inklusi Pendidikan Merdeka Belajar

Bagikan berita
Foto Tantangan dari Inklusi Pendidikan Merdeka Belajar
Foto Tantangan dari Inklusi Pendidikan Merdeka Belajar

Oleh: Priscilla SharonLulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan.

Mayoritas dari pembahasan tentang Kebijakan Merdeka Belajar terutama pilar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 di media massa terlalu terpusat pada diskusi tentang celah yang dieksploitasi dalam pilar ini ataupun keluhan seputar Zonasi PPDB. Maka, dalam artikel ini, diskusi yang dikemukakan adalah pentingnya peran pemerintah pusat serta daerah untuk mengedukasi masyarakat terkait Fleksibilitas pada Zonasi PPDB 2020.

Pembahasan ini penting untuk diangkat terutama karena implementasi kebijakan ini justru menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat terutama di antara orang tua. Tidak sedikit dari orang tua yang tidak dapat mendaftarkan anak-nya ke sekolah karena poin-poin dalam penetapan radius zonasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pihak yang belum benar-benar memahami Kebijakan Zonasi PPDB 2020 yang intensinya tidak terbatas pada pemerataan pendidikan saja tetapi juga sistem edukasi yang lebih adil. Pengetahuan yang minimum tentang kebijakan tersebut juga disebabkan oleh kekurangan sosialiasi dari kebijakan dan juga manfaat yang dapat dibawakan oleh kebijakan.PPDB 2020 di bawah Permendikbud No.44 Tahun 2019 menjadikan jalur zonasi sebagai kriteria seleksi siswa.

Melalui jalur ini, siswa dengan close proximity akan mendominasi demografi dari siswa yang diterima. Kebijakan zonasi bukan-lah kebijakan pertama yang baru diluncurkan di tahun 2020. Tetapi, kebijakan ini telah diperkenalkan sejak tahun 2017. Namun yang membedakan kebijakan pendahulu dengan kebijakan sekarang adalah jumlah persentase penerimaan siswa. Di bawah Permendikbud terbaru, persentase kuota untuk jalur zonasi adalah minimal 50%, kemudian jalur afirmasi adalah minimal 15%, sedangkan jalur perpindahan orang tua/wali maksimal 5%. Dalam peraturan yang baru pula, jalur prestasi baik akademik ataupun nonakademik hanya akan dibuka jika terdapat sisa kuota. Dan jalur ini juga diberi penjatahan maksimal sebesar 30%. Perubahan tersebut tentunya juga lebih adil daripada kebijakan zonasi PPDB tahun 2019 di mana menekankan bahwa admisi melalui jalur zonasi adalah minimal sebesar 80%.Persentase tetap dari setiap jalur ini menjadi wewenang dari pemerintah daerah setempat. Perbedaan karakteristik dan kondisi dari masing-masing daerah untuk menentukan radius zona menjadi alasan penyerahan wewenang tersebut. Penentuan radius zona di sini mempertimbangkan daya tampung sekolah dan batas usia dari calon siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU dalam Program RISE (Research on Improving Systems of Education) pada bulan Agustus 2018 menunjukkan bahwa implementasi PPDB zonasi pada 46 SMP negeri ataupun swasta di Yogyakarta adalah terdapat keberagaman karakteristik siswa serta proses belajar-mengajar di kelas.

Keunggulan ini juga diikuti dengan berbagai tanggapan negatif dari penetapan umur sebagai kriteria penerimaan siswa. Misalnya seperti, di Padang, terdapat salah satu orang tua yang resah karena anak-nya tidak diterima di SMPN 09 dan SMPN 30 karena perihal umur. Kasus ini merupakan salah satu dari beragam kasus di mana orang tua memberikan tanggapan serupa. Hal ini terjadi karena masih banyak stigma sekolah favorit di tengah masyarakat terutama pada level Perguruan Tinggi. Seperti misalnya, di daerah Solo sendiri, ketika PPDB 2019 diperkenalkan, reaksi yang timbul tidak hanya berupa keluhan tetapi para orang tua juga bahkan datang ataupun menghubungi Dewan Pendidikan Kota Solo (DPKS). Hal ini menjadi salah satu dari sekian banyak contoh di mana keberadaan stigma sangat kuat di tengah masyarakat.Menanggapi hal ini, seharusnya pemerintah pusat juga menambahkan aturan yang mengikat para pemerintah daerah untuk dapat mendorong ide di balik penetapan Kebijakan Zonasi tersebut serta manfaat yang dapat diterima karena kebijakan tidak dapat berjalan tanpa sinergi dengan upaya lainnya yang bertujuan mengedukasi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu sosialiasi yang diberikan oleh Dinas Pendidikan untuk masyarakat setempat karena perubahan sistem seperti ini juga membutuhkan keterlibatan dari Dinas Pendidikan Daerah sebagai aktor yang menetapkan dan menjalankan kebijakan di daerah.

Lebih lanjut, sosialisasi yang dapat dilakukan adalah mengenai penciptaan edukasi yang semakin inklusif. Edukasi yang inklusif memiliki beragam manfaat, misalnya: lebih efektif dari segi biaya, kemudian juga dapat mendorong tercipatanya masyarakat yang lebih inklusif serta memungkinkan anak untuk dapat belajar secara efektif. Selain itu, PPDB ini tidak hanya unggul karena menciptakan keberagaman siswa tetapi juga bermanfaat bagi guru karena kebijakan ini dapat mendorong perkembangan satu baik d ari guru ataupun siswa satu sama lain.Selain sosialisasi, pemerintah daerah juga dapat berkoordinasi dengan kepala sekolah ataupun ataupun menciptakan satu proyek yang mendorong partisipasi orang tua, masyarakat agar terlibat dan dapat memahami kebijakan tersebut dengan baik. Pemaparan terhadap ide dan manfaat dari edukasi yang inklusif yang efektif dapat secara perlahan merobohkan stigma di tengah masyarakat.

Artikel ini menyimpulkan bahwa Kebijakan Zonasi PPDB 2020 merupakan kebijakan yang memang perlu untuk diterapkan di Indonesia. Karena, keberagaman yang diciptakan oleh kebijakan ini nantinya dapat menghapuskan ketimpangan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintahan daerah, misalnya maraknya stigma sekolah favorit di Indonesia dan pentingnya edukasi Kebijakan Zonasi tersebut. (*)

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini