Tiga Capres, Kemana Hati Berlabuh?

×

Tiga Capres, Kemana Hati Berlabuh?

Bagikan berita
Tiga Capres, Kemana Hati Berlabuh?
Tiga Capres, Kemana Hati Berlabuh?

Bila tidak ada aral melintang, cukup-hampir pasti, insya Allah ada 3 Capres untuk Pilpres RI Tahun 2024. Setelah Megawati mengumumkan calon PDIP menjadi Capres Jumat 21 April lalu, lengkaplah sudah.Mereka adalah (munurut abjad) Anies Baswedan-54 (Lahir di Kuningan, 7 Mei 1969), Ganjar Pranowo-55 (Lahir di Karanganyar, 28 Oktober 1968) dan Prabowo Subianto-72 (Lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951). Secara aturan, mereka sudah siap dan didukung penuh oleh partai atau partai-partai sesuai presidential tress-hold.

Ketiga mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Ketika ada yang berfkir kekurangan, maka di tulisan ini tidak dibahas. Mengapa? Karena pertimbangan memilih seyogyanya bukan pada kekurangan tetapi pada kelebihan. Meskipun secara manusiawi, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, apalagi sekaliber tokoh nasional Capres.Persoalannya selama ini, soal kelebihan ada yang obyektif dan ada pula yang  sangat subyektif. Tergantung  dilihat dari perspektif (sudut-pandang) apa, siapa dan bagaimana? Di sinilah tim sukses (timses) bekerja bersama mesin partai. Rekam jejak akan ditampil ulang. Digital media akan penuh dengan berbagai cuplikan. Kadang dipotong, disambung atau dibelokkan sesuai selera.

Maka rekognisi (pengenalan ulang) terhadap tokoh-tokoh tadi,  bukan saja pada masa sekarang dan sisa waktu ke hari pencoblosan, tetapi mulai dari biografi, masa kecil, masa remaja, masa berkeluarga, pendidikan, profesi dan pengalaman kerja serta pengalaman hidup tokoh akan diobrak-obrik pemilih. Dalam hal ini  boleh jadi calon-pemilih awam. Boleh pula oleh mereka yang merasa tokoh dan atau pihak yang berseberangan.Obrak-abrik itu ada yang versi sendiri. Ada via pencarian dan penelusuran melalui  diksi tulis atau ragam  wacana pihak pihak lain. Meskipun begitu, yang paling rumit adalah dengan iming-iming materi, posisi dan pemenuhan harapan pribadi. Lalu mengabaikan semua kenyataan obyektif tokoh. Kalau yang terakhir ini yang dominan, maka bersiaplah bahwa pada saatnya akan menyesal.

Sejalan dengan itu adalah kos-politik, sesuatu yang tak bisa diabaikan. Meskipun obyektifias personal, kajian platform partai pendukung dan semua kua-pribadi dan pengikut jempolan, tetapi tanpa dana  yang berlimpah, agaknya masih tetap bermasalah.Mau diapakan calon hebat kalau tidak dipasar-politikkan secara massif dan terukur? Apalagi bila ditoleh ke massa yang akan memilih. Selalu saja ada istilah pemilih  rasional dan emosional-sentimental (?). Meskipun ini analisis usang, soal rasional dan emosional ini tak bisa diabaikan.

Selain itu ada istilah politik identitas. Maksudnya politik-ideologis: kiri-kanan-tengah.  Boleh saja dinafikan oleh sebagian orang. Itu harus dikalahkan oleh wacana pokok pikiran dan program yang akan diusung bila mereka menang menjadi pemerintah, penguasa, juru mudi negara, pusat pedoman kebangsaan, kepentingan NKRI ke depan, Pancasilais dan seterusnya.Akan tetapi ada saja yang ngotot. Bahwa kemerdekaan RI dan termasuk mengisi kemerdekaan bukan hanya soal perut, infra dan supra struktur, ekonomi dan pembangunan lahiriah-materialistik.

Katanya, ideologi tetap harus diperjuangkan. Ideologi Pancasila sudah final. Diterima semua partai. Ditulis jelas inklusif dalam bab dan pasal AD-ART dan plat form. Begitu pula oleh Ormas . Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila sebagai “Darul ‘Ahdi wa al-Syahadah” dan NU sebagai “Daru al-Mitsaq”. Begitu pula siapa saja yang berhak hidup di negeri ini adalah in-konkrito berideologi Pancasila.Akan tetapi bagaimana membumikan Pancasila dalam hidup sehari-hari. Ini hal yang tetap ada, nimimal dalam bayang pikiran,  semacam “sub-ideologi”. Di antaranya kebebasan dalam sikap berdemokrasi, hukum tidak tebang pilih, agama harus lepas  dari rezimisasi dan bukan sumber kegaduhan, ekonomi kerakyatan, kesetaraan jender, perlindungan anak-orang miskin dan telantar, hak asasi manusia, hak untuk mendapat hidup laik, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Meski sudah ada sekitar 60 komisioner yang dibentuk pemerintah untuk menengarai itu semua, tetapi tetap saja bagi kalangan tertentu, terasa belum sepenuhnya Pancasilais.

Lihatlah Amerika. Ketika Partai Republik yang berkuasa, maka Amerika dominan dalam politik dalam dan luar negeri dan ekonominya  berpihak kepada kapitalisme konservatif, pemilik modal.  Sedang bila Partai Demokrat yang berkuasa, dalam politik dalam dan luar negeri serta ekonomi lebih liberalistik.Akan mudah merasakan bahwa yang satu disebut “kiri”, yang lain boleh disebut “kanan” . Dan adakah yang disebut “tengah”?. Maka bagi mereka yang melek sejarah ideologi dunia, pilihan itu tak sulit. Oleh karena siapapun tokoh akan tak lepas dari pemilahan itu, meski tak dapat disebut sebagai pemisahan yang tajam, namun dapat dirasakan oleh hati sanubari. Lalu, kemanakah hati anda berlabuh? Kiranya, masih cukup  waktu untuk menyiasatinya.(***)

Shofwan Karim, Dosen-Lektor Kepala Pascasarjana UM Sumbar.

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini