Toleransi Kerukunan Antar Pemeluk Agama

×

Toleransi Kerukunan Antar Pemeluk Agama

Bagikan berita
Foto Toleransi Kerukunan Antar Pemeluk Agama
Foto Toleransi Kerukunan Antar Pemeluk Agama

Selain Sumbar, ada 7 provinsi lain sebagai percontohan pilot proyek Kerukunan Beragama. Yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Riau, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Secara sepintas, kelihatan bahwa menurut survei kementerian agama, Sumbar sudah keluar dari tuduhan sebagai provinsi intoleran (tidak toleran). Tentu dengan demikian termasuk 7 contoh lain tadi.Mengapa dulu Sumbar dianggap sebagai wilayah intoleran? Padahal tidak ada yang berubah. Kecuali isu yang dikembangkan pihak tertentu. Maka kalau sekarang isu tidak dikembangkan, maka dari dulu mestinya Sumbar adalah daerah toleran.  Untuk itu, agaknya  perlu dilihat makna toleransi secara umum. Yaitu sebagai sikap manusia agar saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan yang ada.  Itu tidak berarti mengakui kebenaran pihak lain kalau bertentangan dengan kebenaran hakiki menurut doktrin dasar agama mereka.

Dalam kehidupan beragama, Islam melihat bahwa perbedaan itu sudah diterima sebagai apa adanya. Perbedaan dalam Ibadah dan akidah tidak akan mengganggu kalau tidak ada pemaksaan kepada mereka untuk mengikuti yang berbeda dengan prinsip mereka.Jangankan dengan berlainan agama, sesama atau seagama saja, umat Islam sudah terbiasa berbeda dalam pelaksanaan pemahaman, pemikiran serta praktek Ibadah  mereka.  Meskipun rukun iman sama dan rukun Islam sama tetapi sudah menjadi kenyataan umum dalam kaifiat-cara pelaksanaan ternyata ada perbedaan . Dan itu semua dilaksanakan dengan prinsip saling menghargai dan menghormati.

Terhadap mereka yang berlainan keyakinan agama sudah terlaksana dengan baik tidak menggangu mereka bahkan membiarkan mereka dalam cara yang berbeda  terhadap akidah dan Ibadah. Lebih-lebih  dalam pergaulan social. Tidak ada larangan bertegur-sapa, berjual beli, mengikuti pendidikan  di satu lembaga  yang mereka pilih. Bahkan ada yang jelas lembaga pendidikan agama lain, anak didiknya ada yang tidak sama agama mereka. Itu sudah berlangsung berabad-abad sejak zaman penjajahan, pra kemerdekaan, dan sekarang.Membiarkan, mentoleransi di sini bukan berarti ikut melaksanakan akidah dan Ibadah agama lain. Tetapi kokoh dengan akidah dan agama sendiri itu berarti sudah menghargai agama lain. Karena akidah dan Ibadah adalah dasar masing-masing agama yang bersumber dari wahyu dan ajaran nabi mereka masing-masing, Itulah pemahaman standar bagi umumnya umat Islam dari Quran, 109-Al-Kafirun : 6. Lakum di nukum waliyadin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Keristen ternyata sama dengan prinsip di atas. Di dalam Kristen sendiri, lihat: https://student-activity.binus.ac.id/po/2016/05/toleransi-beragama-dalam-pandangan-kristen/(akses : 22.12.2021),  mereka harus berpegang teguh kepada iman eksklusifnya sekaligus hidup bertoleransi dengan orang beragama lain. Caranya, bersikap tulus dan menghormati terhadap iman dan keyakinan agama lain tetapi itu tidak berarti mengakui apa yang mereka katakan tentang kebenaran bila bertentangan dengan kebenaran Kristen.

Baca juga:

Matius 5: 45 tertulis. “Karena dengan demikianlah kamu menjadi ana-anak Bapamu yang di syorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Dalam pemahaman mereka meskipun Tuhannya menciptakan Matahari untuk orang jahat dan baik, tidak berarti Tuhan menyetujui perbuatan jahat dan Tuhan hanya menyetujui perbuatan baik.Pada sisi lain ada ada arahan  toleransi akidah-teologis yang  gamblang   tidak memaksa.   Quran membiarkan akal manusia mengikuti petunjuk secara bebas dan bahkan Tuhan pun tidak memaksa manusia beriman kepadanya. Di dalam Quran 6-Al-An’am: 35 “…Dan sekiranya Allah menghendaki, tentu Dia jadikan mereka semua mengikuti petunjuk, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang bodoh.”

Selanjutnya,  Quran 10-Yunus: 99 , “Jikalau Rabbmu mengehendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Itulah sebabnya, ada kesimpulan hanya karena izin, rahmat, karunia, hidayah serta Ridha Allah sesorang itu  beriman kepada Allah dan memeluk agama yang diredhai-Nya.Sementara di dalam pergaulan social, sebaiknya menoleh kepada  al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lak-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Di dalam konteks ini, kata takwa dapat dipahami sebagai memelihara diri dan menghormati prinsip orang lain.

Persoalannya muncul ketika toleransi –berlapang dada, kepala sejuk, hati dingin--,  dianggap melebihi pijakan agama yang dipahami secara umum. Misalnya ketika dikaitkan dengan  kata kehidupan beragama. Kerukunan kehidupan beragama atau  toleransi kehidupan beragama. Oleh pihak tertentu dianggap semua sama saja.Ada tafsir  pihak tertentu yang menyamakan antara kerukunan  akidah dan Ibadah dengan pergaulan social. Padahal akidah dan Ibadah-ritualistik khusus adalah prinsip dasar yang tidak  bisa dicampur adukkan dengan masalah sosial umum.  Misalnya bolehkah berjual beli dengan orang tidak seagama? Sampai sekarang tidak ada larangan berbentuk  fatwa ulama, MUI, Pusat dan Daerah. Tidak ada larangan   keputusan dari Pastor dan Pendeta. Tidak ada larangan  Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI),   Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia, Ratu Pedanda, dan Pemangku Agama  lainnya.

Bolehkah bertegur sapa dengan berlainan agama? Tidak  ada ketentuan yang melarang  di dalam teks dan konteks dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, sebagai agama-agama yang resmi pada kementerian agama di negara ini.Bahkan di dalam urusan kemanusian seperti menanggulangi akibat  bencana alam, banjir, gunung meletus, tanah longsor, mengatasi  penyakit menular seperti Covid-19 dengan segala variasinya seperti Omicron dan mengatasi kemiskinan serta kebodohan, semua pemeluk agama bekerjasama dan tidak pernah mengaitkan dan menanyakan, kamu beragama apa? Di sinilah letak toleransi antar pemeluk dan kehidupan  beragama. Oleh karena setiap agama, apapun agamanya mempunyai konsep kemaslahatan sosial kemanusiaan yang tidak terikat oleh firkah dan aliran masing-masing mereka.

Untuk yang terakhir, bertegur sapa, kehidupan sosial dan kemanusiaan mengucapkan selamat hari tertentu menjadi sensitif. Pada praktek pranata sosial dan budaya  inilah antara lain ada sikap “ghuluw” atau berlebih-lebihan melampaui batas.Ada keinginan secara halus bahkan kasar oleh pihak tertentu untuk mengikuti budaya agama lain dalam memperingati hari besar mereka.  Keinginan seperti itu sebenarnya yang  boleh disebut sikap intoleransi. Jangan dibalik, orang yang tidak mengikuti tetapi hanya membiarkan dan  tidak mengganggu diangggap tidak menghormati, tidak toleran dan sebagainya. Bila itu yang terjadi, inilah yang disebut “ghuluw” atau berlebihan melampaui batas.

Hal itu disinggung dalam  QS,5, Al-Maidah:77. “… janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat di jalan yang lurus (tersesat dan menyesatkan)”. (***)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini