UU Perfilman Harus Dorong Penggunaan Produk Lokal

×

UU Perfilman Harus Dorong Penggunaan Produk Lokal

Bagikan berita
UU Perfilman Harus Dorong Penggunaan Produk Lokal
UU Perfilman Harus Dorong Penggunaan Produk Lokal

[caption id="attachment_30249" align="alignnone" width="600"]Wakil Ketua Panja Perfilman Nasional Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya  saat memberi keterangan di Pressroom Gedung DPR RI, Rabu (27/4) bersama Ketua Panja Perfilman Abdul Kharis Al Masyhari dan anggota panja Vena Melinda.(ery satria) Wakil Ketua Panja Perfilman Nasional Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya saat memberi keterangan di Pressroom Gedung DPR RI, Rabu (27/4) bersama Ketua Panja Perfilman Abdul Kharis Al Masyhari dan anggota panja Vena Melinda.(ery satria)[/caption]JAKARTA - Kebijakan perfilman melalui Undang-Undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, seharusnya mendorong agar pengembangan penggunaan production design dan costume design lebih bernuansa lokal, sehingga mampu mengurangi komponen syuting di luar negeri.

Wakil Ketua Panja Perfilman Nasional Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya mengatakan ini saat memberi keterangannya di Pressroom Gedung DPR RI, Rabu (27/4) bersama Ketua Panja Perfilman Abdul Kharis Al Masyhari dan anggota panja Vena Melinda.Ditegaskan Teuku Riefky  perfilman nasional tidak hanya terkait dengan proses produksi, tapi distribusi dan eksibisi. Sebab, perfilman nasional tak bisa bertahan tanpa dukungan distribusi dan eksibisi yang kuat.

"Namun pada kenyataannya dengan segala keterbatasan yang ada tercatat sekitar 110 film Indonesia untuk layar lebar beredar di 2014," kata politisi dari Partai Demokrat ini.Terkait jumlah layar bioskop yang ada di Indonesia saat ini, Teuku Riefki menilai masih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk yang ada. Ia menggambarkan dengan populasi 250 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 1.117 layar bioskop.

"Itu pun hanya ada di mall besar dimana masyarakat secara umum segan untuk masuk. Belum lagi, relatif rendahnya tingkat pendapatan rata-rata masyarakat dan masih lemahnya penegakan hukum terhadap pembajakan film merupakan kendala terbesar pertumbuhan bioskop di Indonesia," katanya.Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan penegakan hukum, Indonesia memerlukan sekitar 20.000 bioskop untuk melayani kebutuhan masyarakatnya. Sebagai perbandingan, Korea Selatan yang berpenduduk 51 juta jiwa memiliki 5.000 layar bioskop, dimana sektor film dan tayangan televisi di Korsel mampu menyumbang PDB hingga Rp 2.100 triliun per tahun.

"Sedangkan di Prancis dengan jumlah penduduk 67 juta jiwa memiliki bioskop lebih dari 20.000 layar. Contoh konkret, pemerintah Prancis mengutip pajak pada industri film dan acara televisi sebesar Rp 11 triliun yang dikembalikan lagi untuk mendanai produksi film di negara itu," paparnya.Dalam kesempatan sama, Vena Melinda mengatakan film seharusnya bisa dinikmati masyarakat luas. Bukan hanya menyebar semangat positif melalui film, tapi juga harus memiliki multiplier efek ekonomi yang banyak.

"Contohnya film laskar Pelangi, yang memajukan ekonomi Belitung, mulai dari pariwisata hingga banyaknya jumlah penerbangan ke sana," katanya.Karena itu menurut politisi perempuan dari Partai Demokrat ini, untuk mengembangkan perfilman di Indonesia, setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari satu dekade agar industri sinema Indonesia setara dengan industri internasional yang sudah lebih dulu maju.

"Ini merupakan tantangan bagi segenap komponen bangsa untuk mendukung insan perfilman nasional agar dapat memajukan perfilman nasional dengan komprehensif dan strategis," pungas Vena Melinda. (Ery Satria)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini