Saya tiba di rumah kelahiran Haji Agus Salim, Koto Gadang, Ampek Koto, Rabu (6/9) sekira pukul 11.00 siang. Bendera Merah Putih, berkibar lembut di halaman rumah tersebut.
Ketika saya datang, langit di sini berawan campur kabut asap, serupa langit sebagian besar Sumatera.
Dingin. Sepi. “Rumah Zilen Zelila,” demikian tertulis di dekat pintu beranda. Itu nama salah seorang bundo kanduang dari 200 KK atau sekitar 800 jiwa keluarga yang garis matriakatnya ada di rumah ini.
Rumah bercat hijau es mint ini, beratap seng dengan satu kamar utama dan tiga kamar lainnya. Kamar utama sederet dengan beranda. Ruang tamu arah depan, terlihat elegan dengan tujuh jendela kaca dan satu pintu masuk berdaun dua. Vitrase gordennya warna putih dengan motif bunga.
Kamar utama berada di bawah atap tungkus nasi. Kamar jendela tertutup dan ventilasi bercaka dibungkai enam kecil-kecil, menemaninya. Khas rumah masa lampau nan elegan. Klasik modern.
Rumah ini, berusia hampir 200 tahun, pernah direhab sekitar 50 tahun silam. Di rumah inilah Haji Agus Salim, diplomat ulang yang wartawan itu lahir Rabu 08 Oktober 1884.
Rumah ini dilengkapi dengan sebuah buku tamu. Penghuninya keluarga H. Agus Salim. Namanya Hedi Ananda. Ia sendirian, pulang dari rantau. Sudah lama juga ia di Koto Gadang. Ia pun asyik memelihara tanam-tanaman seperti buah naga, di halaman samping dan belakang.
Wartawan Beken
Agus Salim jadi menteri luar negeri, perdana menterinya Sjahrir dan presidennya Soekarno. Duo orang berdarah Koto Gadang. Siapa Agus Salim, berjuntai-juntai tulisan tentang tokoh ini. Dia, adalah wartawan beken. Jabatan redaktur dan/atau pemimpin redaksi di Neratja, Bindia Baroe, Bendera Islam dan Fadjar Asia serta Mustika.
Dua adiknya, Siti Danilah Salim adalah wartawati kawakan. Ia lahir di Tanjung Pinang, Selasa 21 Desember 1897. Tante Du, demikian ia disapa, adalah seorang pejuang kemerdekaan dan hak-hak perempuan. Wartawati zaman awal. Pada usia 18 atau 20 tahun, sekitar-sekitar itu ia mulai menulis, 1914-1915. Ini memudakannya merilis tulisannya karena bekerja di percetakan De Evolutie. Karangannya dalam Bahasa Melayu pertama dimuat di tempat kakaknya jadi redaktur, koran Neratja.
Wartawati yang suka memakai nama pena “Siti Sembilu,” itu tulisannya memang tajam. Tidak disukai Belanda. Bisa jadi karena itu, namanya lambat-laun tenggelam.