Wisata Peradaban Ranah Minang

×

Wisata Peradaban Ranah Minang

Bagikan berita
Wisata Peradaban Ranah Minang
Wisata Peradaban Ranah Minang

Wisata tak lain tentang kesan baik yang dibawa pulang oleh pengunjung. Untuk sebuah bisnis pariwisata, maka yang diperlukan adalah membawa hal-hal baik di atas rumah ke tempat-tempat umum, dengan demikian kumpulan hal-hal baik akan menjadi panorama adab yang luhur.Kata kawan saya, sulit mewujudkan hal itu, tapi ia lupa "selalu ada hari pertama." Wisatawan Eropa sudah datang ke Ranah Minang sejak seusai Perang Paderi medio 1800. Mereka datang, karena Belanda menjual paket-paket, termasuk wisata naik gunung.

Wisata alam adalah modal tak bermodal. Tinggal memelihara saja, persis ikan di lautan. Asal jangan dirusak saja, selesai urusan. Tapi, tamu yang datang dengan harapan meluap-luap memerlukan hal lain, yaitu sikap tuan rumah. Sikap itu, soal kebersihan, tentang menjaga lingkungan. Kalau senyum, jangan disebut, kita paling baik senyumnya, sama baiknya, paling lahap makan di Sumatera. Menyambut tamu, perlu bahasa tubuh lainnya.Tak perlu sikap dibuat-buat, natural saja, tapi tanpa mambuduik. Imbauan ini sudah setua Orde Baru, tapi tak terlaksana juga.

Imbau ke imbau mana bisa. Perlu dibentuk kesadaran bersama tentang: negeri ini memang hebat, jauh lebih hebat dari yang dibayangkan orang. Dan, itu sudah dibuktikan, namun kini redup oleh berbagai masalah hidup.Menjual Peradaban

Akademisi mencatat peradaban itu rumit dan mencakup banyak aspek kehidupan. Suka hatinyalah. Yang jelas, kita jual saja dulu. Tapi jual-jual saja mana bisa.Kita mulai misalnya dari Sekolah Raja atau Kweekschool, Bukittinggi yang didirikan Maret 1873. Bayangkan, berapa tahun itu usianya. Berdiri gagah di depan Mapolres Bukittinggi, sekarang. Ada sekolah serupa di kota lain? Kalau ada, kita yang jual duluan, jangan pengekor.

Baca juga:

Di sekolah ini pernah belajar Imam Besar Masjidil Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, guru para ulama di Indonesia dan Malaysia. Di sekolah ini, belajar Tan Malaka, intelektual yang tak tertandingi di bidangnya. Gurunya, Engku Nawawi dan Van Ophuijsen. Berdua dengan Nawawi, dibuatlah ejaan yang kita kenal dengan ejaan Van Ophuijsen. Dan itu di Sekolah Raja dan berlaku untuk seluruh Hindia Belanda. Baru setelah merdeka diganti dengan EYD.Almarhum AA Navis pernah membuat peta wisata disebut Geosastra, ketika pertemuan para sastrawan di INS Kayu Tanam. Tinggal memperbanyak saja.

Kalangan intelektual Minangkabau yang sudah kita sebut saban hari itu, kapan kita ajak wisatawan melihat nagari asalnya?Yang sejalur Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar sajalah dulu, kalau iya pula.

Belum lagi Maninjau. Karamba ikan saja serumit lalulintas, tak selesai oleh pemerintah.Belum lagi jaringan nagari-nagari ulama-ulama besar Minangkabau. Lelah boleh dibuatnya wisatawan.

Mulai saja dari Koto Tuo, Balai Gurah, Ampek Angkek, sebab di sana dua ulama hebat yang membuat sejarah berjejak kuat di Minangkabau.Pertama Tuanku Nan Tuo, ulama guru para ulama Paderi. Kedua, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, guru pendiri Muhammadiyah dan pendiri Nahdatul Ulama, serta Persatuan Tarbiyah Islamiyah serta Thawalib. Guru segala guru ulama.

Jual saja pada wisatawan, itulah warisan para ulama, dengan cara itu almarhum menafkahi anak negeri Minangkabau. Mengeluh ke mengeluh saja, kapan nasi akan masak.Banyak yang bisa, bukankah negeri ini adalah warisan dunia, Unesco yang ditetaplan di Kota Baku, Azerbaijan? Apa juga lagi. Belum lagi sisi matriakat dengan rumah gadangnya. Tinggal menggulai tamu-tamu itu saja, selesai sudah.

Tapi, itu tadi, mesti diawali dengan menjaga lagi peradaban kita yang seperti kain panjang nenek, dilipat saja, tak boleh dipakai, nenek telah tiada, kain panjang sudah tambuak tiok ragi. Maka pakailah sekarang kain panjang itu.Surau sekolah mesti memulai hari pertama untuk mengajarkan peradaban Minangkabau, atau kalau ragu, adat budaya Minangkabau saja. Kita mesti bersih, sampah semua jenis, termasuk caruik, jangan ba-leak-leak. Itu bukan untuk tamu, tapi untuk kita sendiri.

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini