Ziarah ke Batu Taba: Angku Angin, Guru dari Inyiak Parabek

×

Ziarah ke Batu Taba: Angku Angin, Guru dari Inyiak Parabek

Bagikan berita
Foto Ziarah ke Batu Taba: Angku Angin, Guru dari Inyiak Parabek
Foto Ziarah ke Batu Taba: Angku Angin, Guru dari Inyiak Parabek

Batu Taba, tepian Singkarak pada Selasa (16/11) lindang oleh cahaya matahari siang, lalulintas ramai-ramai tanggung.Seorang nenek, bermukenah, bertongkat payung warna hijau, terlihat berjalan ke arah timur di pinggir sebelah kiri Jalan Lintas Sumatera (Jalinsuman) yang membelah nagari tersebut.

Nenek baru selesai Shalat Zuhur di Masjid Raya, nagari setempat.  Saya ada di antara jemaah masjid itu. Tadi sebelum shalat ziarah dulu ke makam ulama terkemuka di sana, Syekh Abdul Karim yang terkenal dengan nama Angku Angin.Ulama inilah guru kedua dari Syekh Ibrahim Musa Parabek (Inyiak Parabek) di luar Parabek. Makam itu ada di rusuk masjid arah ke jalan raya. Tak banyak yang tahu, dari tiga makam di sana, ada seorang ulama hebat, 17 tahun belajar di Makkah, guru banyak ulama. Ahli fikih dan tafsir.

Pada usia 13 tahun, Inyiak Parabek, yang nama kecilnya Luthan, pergi belajar ke Syekh Muhammaf Aminullah bin Abdullah di Pakandangan, Padang Pariaman. Syekh ini dikenal dengan nama Tuanku Mato Aie.  Inyiak Parabek belajar ke sini pada tahun 1897. Setahun kemudian diantarkan ayahnya belajar ke Syekh Angku Angin di Batu Taba.Ulama Fikih dan Tafsir

Danau Singkarak adalah halaman bagi Batu Taba, nagari dengan hampir 50 surau itu. Di sini pendidikan agama nomor satu, sayang surau yang banyak itu, sudah pada roboh. Saya melihat anak-anak belajar di sekolah agama swasta di dekat masjid. Doeloe ada Thawalib yang kemudian jadi MTsN, ada sekolah Muhammadiyah, juga Tarbiyah.Walinagari Batu Taba, Desriyanto bersama tokoh masyarakat Sukniadi, mengantar saya ke tapak surau Angku Angin dan 3 surau di sekitarnya. Surau Angku Angin, ulama sezaman Perang Paderi itu, sudah tak ada lagi. Yang ada sebuah surau lebih muda, itupun sudah roboh. Surau Batu, sudah lapuk dan tak dipakai lagi. Di sebelahnya ada saluran irigasi pedesaan, yang baru selesai ditembok. Tentu saja, airnya akan bermuara ke danau.

Tak lama kemudian di sebuah rumah makan, saya dipertemukan lagi dengan seorang tokoh, bernama Muhammad Noer (80). Orang tua ini, membawa sebuah kitab, mungkin fikih. Pensiunan Departemen Agama RI itu, menyebut, asal mula kenapa Abdul Karim bernama Angku Angin. Ini karena ia membaca Al Quran dan kitab-kitab sangat fasih. Saking fasihnya, bak angin lalu saja. Jika Jumat,  ulama ini tak mau jadi khatib dan imam selagi dalam masjid ada muridnya. Ia mempersilahkan anak didiknya untuk mengambil peran tersebut.Muridnya banyak datang dari berbagai kawasan di Minangkabau. Mereka belajar fikih dan tafsir, sebab Angku Angin adalah ahlinya. Hal ini juga disampaikan Nur Jasma, seorang pensiunan guru di sana. Keduanya memang tak pernah bertemu dengan Angku Angin, kecuali ayah mereka masing-masing. Menurut Nur, murid angku angin ratusan, mereka diam di surau atau di bangunan semacam asrama.  Lalu setelah tamat, kembali ke kampung masing-masing untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.

Salah satu muridnya tentu Luthan atau Inyiak Parabek. Waktu di Pakandangan ia belajar Nahwu (nahu) dan Sharaf. Di Batu Taba, belajar fikih. Menurut Mhd Noer, juga belajar tafsir. Mungkin juga tajwid dan Qiraat. Ponakannya Angku Angin bernama  Muhammad Din, adalah konco Buya Hamka. Ketika Din diundang ke Istana untuk mengaji dan dapat hadiah ke Mesir yang diberikan Presiden Soekarno, maka Buya Hamka lah yang mendampingi. Keduanya saling surat-suratan. Din ahli Qiraat.“Baca bismillah saja sebulan bisa tak fasih-fasih jika belajar sama Engku Mhd Din,”  kataNur Jasma dan Walinagari, Desriyanto. Bisa jadi.

Yang pasti jika untuk tafsir Al Quran, diperlukan 15 ilmu lainnya. Diantaranya, lughat yaitu liguistik, nahwu  tentang tata bahasa, sharaf, perubahan bentuk kata, istyqaq, mencari akar kata, ma’ani untuk mengetahui susunan kalimat dari sudut makna, bayaan ilmu untuk mengetahui makna kata tersurat dan tersirat serta ungkapan. Berikut bad’i yaitu keindahan kata dan kalimat serta qiraat dan lainnya. Qiraat menentukan cara membaca kata dalamAlquran, sebab jika salah, salah pula maknya. Itulah yang diajarkan Angku Angin Batu Taba kepada murid-muridnya. Juga pada Inyiak Parabek.Muhammad Din adalah ahli Qiraat. Ia anak dari adik perempuan Angku Angin. Angku ini 3 orang bersaudara. Istri Angku namanya, Muna.

Peti BesiPonakan, Angku Angin bernama Muhamad Din. Ia punya anak namanya Zet Muhammad.

Saya diantar lagi oleh Pak Walinagari menemui Zet Muhammad. Di rumahnya diperlihatkan sebuah peti besi, berkunci tiga yang sudah berkarat. Itulah satu dari hampir 10 peti Angku Angin yang dibawa dari Mekkah, untuk membawa kitab-kitab. Kata Mhd Noer, kitab-kitab itu dibeli oleh Angku Angin, karena dijual murah oleh para ulama di sana. Waktu itu sedang terjadi krisis ekonomi. Sekarang kitab-kitab itu, nyaris tak ada lagi di Batu Taba, karena satu persatu dipinjam murid-muridnya.Peti besi semacam itu, sudah langka, sudah tak ada yang jual. Selalu saja zaman lampu, para haji pulang membawa peti atau koper serupa. Zet mengisahkan pada kami yang datang tentang Angku Angin. Katanya, Angku Angin dijemput ke Makkah oleh 5 orang saudaranya, karena sudah 17 tahun tak pulang-pulang. Ia nyaris lupa Batu Taba, karena menjadi guru di Makkah. Angku Angin, dugaan Buya Masoed Abidin, bisa jadi seangkatan dengan Fakiah Shagir, penulis Syair Lampung Karam itu, saksi tertulis tentag letusan Gunung Karakatau. Tapi, yang pasti, seangkatan dengan Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Bedanya, Ahmad Khatib tak pulang lagi, Sykeh Angku Angin, mau pulang, setelah dijemput.

Menurut Zet Muhammad, Angku Angin dijemput dan baru pulang setelah gempa Padang Panjang 1926. Mungkin pulang 1927 atau 1928. Menurut dia, untuk kesekian kalinya, Angku Angin naik haji pada 1917 atau 1918. Dipastikan ulama ini, ke Makkah berkali-kali, karena ia orang berada. Tak seorang pun di Batu Taba, tahun berapa lahir dan wafatnya ulama besar ini.Demikianlah Inyiak Parabek, belajar ke Batu Taba,Tanah Datar, selama setahun, yaitu pada 1899. Setelah itu, Inyiak Parabek belajar dua tahun pada Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh dan Sykeh Abdul Shamad atau Tuanku Sami’ di Biaro. Pada 1901, Inyiak Parabek naik kapal api Vorwaarts, milik Belanda untuk naik haji. Inyiak haji membayar ongkos kapal 95 gulden. Kapal akan merapat di Jeddah, di bibir Laut Kalzum alias Laut Merah sebulan kemudian setelah mengharungi Samudera Hindia. Inyiak naik kapal di Emma Haven, Gaung, Padang.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini