PADANG - Sumbar memiliki UU Provinsi baru. Selama ini Sumbar hadir berdasarkan UU Darurat No 19 Tahun 1957 yang dikuatkan No 61 Tahun 1953, tidak berlaku lagi. UU Darurat itu dipakai untuk memecah Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi, Sumbar, Riau dan Jambi. Atas alasan ini pula, Sumbar tak punya hari lahir. Kenapa tidak? Karena pembentukan provinsi kala itu, sebagai lambang kekalahan dalam PRRI. Baru ada hari ulang tahun dalam tiga tahun terakhir.
Kini, sudah ada UU baru, maka kedua UU lama yang menjadi teraju Sumbar, dibuang. Sumbar kini bersandar dengan nyaman pada UU baru itu, yaitu UU yang disahkan, Kamis (30/6). UU tersebut sekaligus mengakomodir pemekaran wilayah. Ada minimal dua dampak dari UU itu, pertama: UU tersebut memuat dengan jelas Abs-Sbk. Pasal 5 (lima) memuat:
adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.Dalam penjelasan diterangkan: Huruf cYang dimaksud dengan “adat salingka nagari” adalah adat yang berlaku dalam suatu nagari sesuai dengan prinsip adat yang berlaku secara umum dan diwarisi secara turun-temurun di Minangkabau, serta menjadi sarana mediasi bagi penyelesaian permasalahan warga adat di nagari tersebut yang dimaksud dengan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” adalah adat bersumber kepada syarak atau syariat (agama Islam), sedangkan syarak atau syariat bersumber kepada kitabullah (Alquran), segala sesuatu yang diperintahkan oleh agama, dilaksanakan melalui adat, dan alam dijadikan guru kehidupan. Pelaksanaan nilai falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Hal kedua yang mungkin terjadi adalah, Sumbar sebagai daerah yang dari sudut pandang pemerintah pusat disebut pemberontak dengan PRRI-nya, mesti dikoreksi lagi bahkan anggapan itu mesti dihapus. Ini bisa dikuatkan dengan hadirnya UU baru dan sejumlah tokoh PRRI justru telah jadi pahlawan. Tiba saatnya pemerintah pusat menghapus kata "pemberontak" dalam dokumennya untuk PRRI 1958 itu. (khairul jasmi)
Editor : Eriandi