BUKITTINGGI - Pengrajin tenun di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menggagas Program Revitalisasi Songket Canduang Minangkabau untuk mengangkat kembali budaya kerajinan tangan pada kain warisan Minangkabau yang sudah lama terpendam."Program ini ditujukan sebagai sebuah upaya untuk menghidupkan kembali budaya tenun di tengah masyarakat Canduang sekaligus memperkenalkan kembali motif-motif songket Canduang pada masyarakat pemiliknya, kata pengrajin tenun asal Agam Nanda Wirawan di Bukittinggi, Minggu (8/1).
Program revitalisasi digagas oleh pengrajin kain tenun asal Canduang, Nanda Wirawan (39) yang sejak 2008 telah bergiat dalam aktivitas Revitalisasi Songket Minangkabau bersama suaminya Iswandi (45) yang juga seorang seniman sekaligus kurator seni rupa.Program Revitalisasi Songket Canduang didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Dana Indonesiana dan LPDP ini terbagi atas tiga tahap pelaksanaan, yakni Revitalisasi Motif Canduang, Workshop Tenun Songket Canduang, dan Pameran Arsip dan Dokumentasi Revitalisasi Songket Canduang.
Nanda menyampaikan, pada 2022 melalui proses seleksi Dana Indonesiana kategori Pendayagunaan Ruang Publik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, kami berkesempatan untuk mengangkat program Revitalisasi Songket Canduang."Hal ini tentunya bermuara pada pewarisan kekayaan tradisi dan penguatan identitas budaya Canduang Koto Laweh sebagai bagian dari kebudayaan Minangkabau dalam konteks yang lebih luas," ujarnya.
Tahapan pertama berlangsung dari November hingga Desember 2022 dengan kerja kolaboratif bersama Studio Wastra Pinankabu.Tahapan kedua adalah workshop tenun songket yang akan berlangsung dari tanggal 9- 31 Januari 2023 di kompleks SMPN 2 Canduang dan melibatkan dua orang ahli, empat instruktur dan 10 peserta workshop.
"Pembukaan workshop diselenggarakan 8 Januari 2023 secara kolaboratif sinergis dengan Festival Alek Nagari Canduang Koto Laweh yang didukung oleh Pemerintah Nagari Canduang Koto Laweh, komunitas-komunitas seni tradisi serta masyarakat yang ada di Nagari Canduang Koto Laweh," kata Wali Nagari Canduang Koto Laweh, Syahendra.Setelah tahapan workshop para peserta akan dilibatkan dalam projek Revitalisasi Songket Canduang bersama Studio Wastra Pinankabu yang rencananya akan dilaksanakan dari Februari hingga April 2023.
Pada Mei 2023, sebagai tahapan ketiga dari program ini akan diselenggarakan Pameran Arsip dan Dokumentasi serta Pameran Hasil Revitalisasi Songket Canduang di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat dengan dukungan dari pihak Taman Budaya Sumatera Barat."Tentunya kita berharap program Revitalisasi Songket Canduang ini akan mendapat dukungan dari berbagai pihak, pemangku kepentingan, serta seluruh masyarakat untuk dapat menjamin keberlanjutan di masa depan," kata Wali Nagari.Menurutnya, selain sebagai upaya untuk menghidupkan kembali songket Canduang sebagai sebuah warisan budaya, aktivitas ini juga membuka peluang-peluang bagi kerja- kerja budaya yang bersifat sinergis dalam ekosistem kebudayaan yang lebih luas di Nagari Canduang Koto Laweh di masa yang akan datang.Sementara itu, Kepala UPT Taman Budaya Sumbar Supriadi menyampaikan akan memberikan ruang seluas-luasnya kepada pengrajin dan pegiat seni budaya Canduang untuk memamerkan potensi daerah nantinya di Kota Padang.
"Pastinya kami mendukung peran aktif pelaku seni budaya, tidak saja kain songket dan tenunan, semua potensi yang ada bisa ditampilkan nantinya secara khusus untuk Canduang, semoga kegiatan ini mendapat respon luar biasa nantinya," katanya.Canduang merupakan salah satu sentra yang paling aktif di Sumatera Barat dahulunya, daerah ini tidak pernah tercatat sebagai sentra tenun di Minangkabau, dan kain-kain koleksi museum yang berasal dari daerah ini dikenali sebagai kain yang berasal dari Koto Gadang, Batusangkar dan Ampek Angkek.
Namun didalam salah satu buku Christine Dobbin (1983), Islamic Reviving in A Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847, menceritakan bahwa Canduang, sebuah daerah di lereng gunung Marapi merupakan salah satu penyuplai utama benang tenun dan pewarna alam indigofera di Sumatra Tengah.Hal ini ternyata berhubungan dengan besarnya peran para ulama sebagai penggerak ekonomi dan aktivitas sosial sejak abad ke-18 hingga 19 di Canduang. Para pendakwah yang umumnya berprofesi sebagai saudagar telah melakukan transaksi hingga ke berbagai negara di jalur pelayaran Selat Malaka. Aktivitas ini memungkinkan terjadinya transfer material antara Sumatera Tengah dengan belahan dunia lainnya lewat pelayaran pantai timur Sumatra.
Sejak ratusan tahun yang lalu, orang Canduang telah menggunakan benang sutra dari Cina, benang anilline, dan benang logam emas dan perak dari Cina dan India untuk kain-kain songket yang mereka tenun. (ant)
Editor : Eriandi