Desa Matotonan secara administratif berada di Kecamatan Siberut Selatan yang beribukota di Muara Siberut. Desa Matotonan merupakan hulu sungai Rereiket yang dihilir setelah bersatu dengan sungai lainnya membentuk sungai Siberut yang bermuara di tempat yang kemudian dinamakan Muara Siberut. Matotonan berada di pedalaman Pulau Siberut yang semulanya hanya bisa diakses melalui sungai dari Muara Siberut. Sebelum dikenalnya mesin pongpong, butuh waktu 2 sampai 3 hari memudiki sungai dari Muara Siberut menuju Matotonan, kemudian dengan hadirnya pongpong dapat dipersingkat menjadi 7 jam. Pasca berdirinya Kabupaten Kepulauan Mentawai, telah dibangun jalan menuju Matotonan, namun kondisi jalan yang baik baru sampai di Desa Madobag. Dari Madobag perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan perahu ponggong yang memakan waktu 3 sampai 4 jam.
Berdasarkan data Visualisasi Data Kependudukan dalam situs Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Desa Matotonan per 31 Desember 2023 berjumlah 1.336 jiwa. Sebanyak 77,84% penduduk Desa Matotonan beragama Islam dan sisianya beragama Kristen. Masuknya Islam ke dalam masyarakat Matotonan terbilang baru, karena periode awal dipeluknya Islam oleh sebagian penduduk Desa Matotonan berlangsung pada tahun 1950-an. Setelah itu, Islam dipeluk oleh secara bertahap oleh penduduk Desa Matotonan. Dengan demikian, perkenalan masyarakat Matotonan dengan Islam belumlah berlangsung lama, terutama jika dibandingkang dengan masyarakat Minangkabau yang berdiam di Tanah Tapi, sebutan daratan Sumatera oleh penduduk Mentawai.
Kehidupan beragama masyarakat Matotonan tentulah unik karena bersinggungan dengan kepercayaan lama Arat Sabulungan. Walaupun sudah memeluk Islam namun praktek adat yang merupakan warisan lelhur masih bertahan. Nilai-nilai kearifan dan tradisi lokal kemudian diadopsi dalam kehidupan beragama masyarakat Desa Matotonan. Salah satunya dapat kita saksikan ketika perayaan Hari Raya Kurban.
Perayaan Hari Raya Idul Adha di Desa Matotonan juga diawali dengan penyelenggaraan Shalat Id yang dilaksanakan di Masjid Abu Ubaidah bin Zarrah, masjid pertama dibangun di Desa Matotonan. Walaupun sarana ibadag Islam telah berkembang dengan hadirnya 2 masjid dan 2 mushala yang tersebar pada 5 dusun di Desa Matotonan, penyelenggaraan Shalat Id dipusatkan di Masjid Abu Ubaidah Bin Zarrah yang berlokasi di Dusun Kinikdok.
Penyembelihan hewan kurban di Desa Matotonan dilaksanakan sebagaimana biasanya sesuai dengan syariat Islam yang dilakukan setelah penyelenggaraan shalat Id. Hanya saja, setelah sapi atau kambing disembelih dan isi perutnya dikeluarkan, hewan korban tersebut selanjutnya dibakar. Pembakaran hewan kurban merupakan warisan teknik pengolahan daging hewan pra-Islam yang biasa dilakukan oleh masyarakat Mentawai umumnya termasuk di Matotonan.
Membakar babi atau ayam merupakan tradisi masyarakat Matotonan dalam upacara adat, hingga semua bulu hewan hangus terbakar. Kulit hewan yang hangus terbakar kemudian dikikis bersih sampai tampak kulit luar pembungkus daging. Setelah memeluk Islam, proses membakar hewan kurban akhirnya diadopsi menjadi bagian dari tradisi berkurban di Desa Matotonan. Kurban sapi atau kambing yang telah dibakar setelah dikuliti sisa-sisa bulu hangus, barulah kemudian dipotong-potong untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat Matotonan. Pengetahuan lokal seperti ini menyelesaikan persoalan pembagian kulit hewan kurban yang kerap menjadi masalah di wilayah lain di Sumatera Barat, karena dengan dibakar secara otomatis kulit hewan kurban langsung bisa dibagikan kepada yang berhak menerima.Pembakaran hewan kurban yang dilakukan bagi masyarakat Matotonan dan juga komunitas Muslim Mentawai lainnya mungkin terasa ganjil bagi masyarakat lain. Tradisi pengolahan masyarakat Mentawai tidak sama dengan masyarakat Minangkabau yang mengolah daging dengan teknik yang kompleks menghasilkan berbagai jenis olahan daging seperti dendeng, randang, gulai, dan kalio. Tradisi masyarakat Mentawai tidak mengenal teknik pengolahan daging seperti itu dan cenderung mengolah daging dengan cara membakarnya atau barbeku ala Mentawai.
Sapi atau kambing kurban yang telah dibakar dan dibersihkan sisa bulu hangusnya, kemudian dipotong-potong sesuai dengan jumlah masyarakat Desa Matotonan yang akan menerima jatah daging kurban. Dalam membagi daging kurban, masyarakat Matotonan mengenal konsep ocai, sebuah prinsip untuk membagi sesuatu dengan adil atau merata. Mengikuti prinsip ocai tersebut, seluruh bagian hewan kurban mulai dari kulit, daging, isi perut, sampai tulang dibagi sama rata, sehingga seluruh bagian hewan kurban akan tersebar secara merata bagi seluruh masyarakat Desa Matotonan.
Kearifan masyarakat Matotonan terus berlanjut ketika membagi jatah kurban yang telah menjadi ocai. Pembagian jatah kurban disebut dengan sebutan Pasirubei Ocai. Ocai akan dibagikan berdasarkan suku-suku yang ada di Desa Matotonan. Panitia sebelumnya telah merekap jumlah kepala keluarga pada setiap suku yang ada untuk menerima ocai. Ocai atau daging kurban selanjutnya dibagikan menurut suku. Setiap suku secara bergilir dipanggil oleh panitia untuk mengambil ocainya. Bisa saja kepala suku mewakili seluruh kepala keluarga dalam sukunya untuk mengambil ocai mereka.
Ocai tidak hanya dibagikan kepada kepala keluarga dari seluruh suku-suku yang ada di Desa Matotonan. Panitia juga mendata janda atau duda yang ada di desa untuk menerima jatah kurban atau ocai. Keluarga tunggal ini memiliki sebutan khusus di Matotonan yakni Sipulumang. Selain sipulumang, keluarga yang beragama non Islam yang tinggal dalam lingkungan keluarga muslim, sebagai jiran mereka juga mendapatkan ocai dari panitia.
Editor : Eriandi