Debat Demokrasi Pilkada Serentak

×

Debat Demokrasi Pilkada Serentak

Bagikan berita
Debat Demokrasi Pilkada Serentak
Debat Demokrasi Pilkada Serentak

Oleh Abdullah Khusairi

"Saya itu menderita ya menonton debat..., bagaimana orang seperti ini mau jadi bupati, gubernur, tanpa substansi, penyampaian belepotan.." ujar Tuan Rumah Akbar Faizal Unsencored dalam Podcast Edisi Analisis Komunikasi Politik Kandidat Pilkada, yang diupload Minggu (26/11). Pernyataan yang mengantarkan sebuah tanya itu, terjadi pada menit 44:01-44:17.

Tamu pada edisi ini adalah Irfan Asy'ari Sudirman Wahid atau akrab disapa Gus Ipang Wahid. Putra KH. Shalahuddin Wahid, adik kandung Gus Dur. Mengupas seputar strategi politik dalam kontestasi Pilkada Serentak. Gus Ipang menjawab tentang penampilan pada debat yang bisa menyumbangkan dua (2) sampai (3) persen kenaikan. Lumayan, menyamaikan angka margin error pada survei.

Pernyataan Akbar Faizal ini menarik dibahas, disamping tulisan Khairul Jasmi di bawah judul Tak Ada Wartawan Panelis (Singgalang, 13 November 2024). "Debat itu sendiri, hambar. Pertanyaan teoritis. Awang-awang. Galigaman saya. Tapi, bisanya sampai di sana. Saya kira KPU cari selamat, sebab kalau unsur pers masuk sebagai panelis, pertanyaannya akan berbeda sekali."

Konteks persoalannya memang berbeda, tapi masih dalam satu bingkai Pilkada Serentak 2024 yang menyedot banyak uang rakyat, untuk memilih pemimpin. Ditaksir akan menelan uang Rp41 Triliun. Besar sekali. Hasilnya belum tentu signifikan. Demokrasi memang mahal.

Pertanyaan pertama, dapatkan pemimpin yang diharapkan dapat menyejahterakan rakyat itu? Pakai skala likert, jawabannya dapat dipastikan seputar Sangat Setuju; Setuju; Netral; Tidak Setuju; Sangat Tidak Setuju; Begitu kerja survei. Namun banyak kajian dan fakta, system one man one vote telah menghanyutkan substansi demokrasi. "lalu lahirnya demokrasi procedural," kata Kang Yudi Latif, suatu hari kepada saya dalam sebuah diskusi.

Hal menarik diungkapkan dari Komika Pandji Pragiwaksono yang dengan keras menyebutkan, rakyat disodorkan pilihan dari partai yang belum tentu itu pilihan rakyat. Pilihan pada tingkat partai, apalagi di dalam Pilkada sangat ditentukan koalisi dan pengurus pusat partai. Walaupun awalnya nama-nama mengapung lewat lembaga-lembaga survei, namun kesan oligarki, populisme dan kapitalisme tak terelakkan. Dampaknya, bukan kualitas leadership yang diutamakan namun tiga hal tadi sangat menentukan.Sekalipun beberapa kasus dapat seiring, antara oligarki, populisme, kapitalisme dan kapasitas leadership. Kapitalisme dimaksudkan, adalah politik uang yang mulai bekerja sejak “membeli tiket” hingga membeli suara ke setiap orang maupun komunitas. Serangan fajar, itu istilah yang kini beredar di sosial media. Perlakuan permisif yang membuat kualitas penyelenggaraan menjadi sangat mengkhawatirkan. Mereka yang punya uang banyak bisa menang, sekalipun kapasitas kepemimpinannya minim. Syukur, jika punya banyak uang juga punya kapasitas kepemipinan.

Pada banyak buku tentang kepemimpinan, tentang kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas merupakan prasyarat bagi seorang pemimpin. Tentu saja, itu idealnya. Kini semua itu bisa dipoles dengan pencitraan melalui "perception engeniring" meminjam istilah Gus Ipang. "Jadi bukan lagi lagi konsultan komunikasi politik," katanya. Bahasa yang lebih udzur, bahasa kampus, public relations.

Ilmu komunikasi politik terus berkembang cepat, seiring dengan perkembangan pemikiran dan juga teknologi informasi. Mereka yang tak belajar akan jauh tertinggal. Pelajar penting dari Pilkada Serentak 2024, salah satunya lahirnya fenomena calon yang disebutkan Akbar Faizal tadi. Para calon bisa saja tersandung dalam debat, karena minim persiapan. Klausul dalam ilmu dakwah, disebutkan "Naik tanpa persiapan akan turun tanpa penghormatan." Begitulah.

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini