Sering dulu kita mendengar di seminar dan membaca artikel jurnal ilmiah satu teori bahwa abad 21 bukan lagi konflik atau perang bersenjata tapi perebutan sumber daya alam lebih khusus air bersih, saya antara percaya dan tidak ketika itu TAPI nyatanya sekarang tanda-tanda "konflik" sumber daya alam itu mulai terjadi bahkan di kampung halaman saya sendiri di Sungai Landia kecamatan IV Koto Kabupaten Agam, begini kisahnya.Awal bulan September yang lalu, saya ke Padang menjenguk paman/mamak yang sakit. paman saya ini juga Datuak di pasukuan kami.
Dalam keadaan sakit itu beliau bercerita ada masalah genting di kampuang bahwa akan dijalankan proyek pembangunan air minum di hulu sungai nagari kami terletak di jorong Ranah yang nantinya air tersebut dialirkan ke kota Bukittinggi.Memang pernah saya mendengar info ini sekilas sebelumnya tapi entah iya entah tidak, samar-samar. Tapi info dari mamak dan datuak saya itu jelas bahwa proyek ini nyata adanya.
Akhirnya saya bertanya dan mencari info kesana kemari termasuk saat pulang kampuang dua pekan lepas dan dapatlah berbagai info dimana saat ini warga protes, bahkan sudah diadakan pula rapat di kantor wali nagari dimana warga menolak karena cacat secara prosedural dalam prosesnya, ada disebutkan Niniak Mamak tidak dilibatkan, Adat Salingka nagari diabaikan, dan perangkat nagari juga ada menyatakan tidak tahu menahu tentang proyek air bersih yang belakangan dari media online saya ketahui nama proyeknya adalah SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Regional Agam BukittinggiBerdasarkan berita di suhanews.co.id bahwa proyek SPAM regional Agam Bukittinggi berdasarkan kutipan pernyataan Gubernur Sumatera Barat Buya Mahyeldi (30/9), bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan air minum di kota Bukittinggi dan Agam sebagai kota wisata dan ketersediaan air minum bersih adalah prasyarat menuju Sumatera Barat sebagai wisata internasional.
Selanjutnya dipilih lah dua nagari di Kabupaten Agam yaitu Balingka dan Sungai Landia sebagai lokasi proyek. Namun pak Gubernur menggaris bawahi proyek bisa dijalankan asal tidak mengganggu kebutuhan petani di Agam.Detail berita silahkan cek di link berikut https://suhanews.co.id/gubernur-pemprov-sumbar-bakal-bentuk-spam-region/
Berikut beberapa poin pemikiran, hasil diskusi, informasi dan aspirasi dari warga nagari termasuk saya sebagai anak nagari Sungai LandiaPertama: Apa dasar objektif kenapa nagari Sungai Landia yang dipilih sebagai sumber air bersih padahal jaraknya dengan kota Bukittinggi cukup jauh, apakah tidak ada sumber air bersih lain sekitar kota Bukittinggi? apalagi dua gunung Merapi dan Singgalang sebagai penghasil air bersih melimpah lokasinya lebih dekat dan sustainability kedepan akan bisa jangka panjang. Sumber air di Sungai Landia yang akan dijadikan sumber air SPAM Regional berasal dari perbukitan bukan gunung. Perbukitan itupun hari ini bukan lagi hutan karena telah banyak dibuka oleh warga untuk perkebunan tentu kedepan serapan air semakin berkurang.
Kedua: saya yang lahir, besar, tinggal dan bersekolah dari SD dan sekolah menengah di Sungai Landia mengetahui persis perubahan dan penurunan debit air di nagari kami 25 tahun terakhir.Dulu kami masih bisa berenang atau lebih tepatnya menyisiri sungai (basianyuik) menggunakan ban dalam mobil dari hulu sungai sampai ke hilirnya perbatasan nagari tetangga karena air yang melimpah. Hari ini, pameo di kampung kami, Pempers bayi saja di lempar ke sungai sampai tahun depan akan masih tersangkut pempers itu di lokasi yang sama atau agak kebawahnya saja sedikit karena debit air yang jauh berkurang.Apatah lagi kalau nanti sumber air kami itu dibagi pula untuk dialirkan ke Bukittinggi, tentu akan keringlah sungai yang hari ini faktanya tidak lagi pas disebut sungai melainkan sudah sekelas parit atau bandar saja.Memang sudah ada katanya survey lapangan menyebutkan bahwa debit air yang dihasilkan 600 liter/detik di hulu Sungai tapi apakah itu valid? Saya dapatkan info dari salah seorang warga yang sudah lama tinggal di kampung bahkan pernah menjabat dalam perangkat nagari meragukan data tersebut, menurut beliau debit aslinya jauh di bawah itu.
Terkait ini perlu dicari second opinion/pendapat ahli lain tidak cukup yang dibawa oleh pelaksana proyek saja. saya pikir LSM seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) perlu diminta pandangannya sebagai lembaga independnKita khawatir karena jarak yang jauh dengan Bukittinggi tadi kemudian debit air yang tidak mencukupi dan sustain untuk jangka panjang proyek ini akan memakan biaya besar tanpa kepastian hasil sehingga mangkrak di tengah jalan.
Sudah jadi rahasia umum kerap kejadian proyek-proyek mangkrak karena uji kelayakan yang prematur, duit habis proyek tak selesai dan itu kerap terjadi sejak era reformasi. Saya tidak menafikan atau merendahkan profesionalitas pihak yang diberikan mandat bertugas tapi kalau feasibility study atau studi kelayakan hanya sepihak tanpa melibatkan surveyor independen, kita khawatir akan terjadi demikian. Bahkan komentar pak Bupati Agam yang diliput oleh salah satu media infopublik.id pun mempertanyakan hal yang sama, apakah itu telah dikaji betul apalagi nagari Sungai landia di Kec IV Koto jauh dari Bukittinggi.Berikut link beritanya https://infopublik.id/kategori/nusantara/671396/rencana-bentuk-spam-regional-pt-nindya-karya-rapat-khusus-dengan-pemkab-agam-dan-pemko-bukittinggi
Ketiga: Dampak lingkungan berkurangnya debit air akibat proyek yang pasti adalah keringnya air untuk persawahan terutama yang berada di kiri dan kanan sepanjang aliran sungai ke hilirnya atau sawah yang lebih tinggi sedikit menggunakan sistem irigasi, tidak saja di nagari Sungai landia tapi juga berdampak sampai ke nagari yang ada di kecamatan Matur dan seterusnya. Kekeringan sawah tentu akan melahirkan krisis pangan di masa datang, padahal pemerintah saat ini gencar mengkampanyekan Ketahanan pangan.Kira-kira mana yang menjadi prioritas mengejar sebagai kota wisata atau ketahanan pangan? silahkan kita timbang sendiri. Jika warga krisis pangan, pemerintah juga yang akan kesulitan mencari solusinya nanti.