Oleh Khairul JasmiLiterasi Minang, orang Minang hebat, ada dimana-mana. Iyalah. Hebatlah. Tapi, tahukah Anda, ada ratusan bahkan mungkin ribuan judul buku di rumah-rumah orang di Sumbar saat ini, tak bisa dicetak. Uang tak ada.
Penerbit tak mau, kalau tak bayar, kecuali, bisa diterima pasar. Yang disebut terakhir, tak banyak. Tapi, bukan berarti, buku yang masih naskah itu, tidak bagus. Bagus, cuma saja nilai komersialnya kurang. Akhirnya naskah itu tidur dan bermimpi. Mimpinya panjang, sepanjang igauan kita tentang Minang hebat.
Lalu bagaimana akal? Beriyur kita bolehlah. Namun, itu akan janggal. Yang tak janggal, pemerintah mengambil-alih. Caranya? Sisihkan APBD Sumbar agar sedikit, misal Rp5 miliar, tambah APBD kabupaten kota, masing-masing agak Rp 1 miliar. Tambah bantuan dari perusahaan sawit yang besar-besar. Gubernur tinggal panggil. Tukuk dengan sumbangan sukarela dari BUMD dan BUMN di Sumbar. Juga bank-bank. Yang tak mau, panggil empat mata bos-bosnya itu.
Dana dikumpul, tentu ditaruh di Bank Nagari, biar berkawan dana Rajawali yang Rp 85 miliar itu, biar ngomong mereka berdua. Dana itu, dana cetak buku itu, jadikan Dana Abadi Literasi. Dana Abadi Literasi itu, alokasikan misal untuk cetak 10 judul buku setahun. Seleksi oleh tim. Tim pakai honor pulalah agak sedikit. Seleksi, jangan berat ke awak saja. Netral. Timnya nan badagoklah. Lalu, minta PTN/S menyumbangan ide atau jadikan tim, tapi jangan orang PTN/S semua, beku bahasa dibuatnya. Agak longgar-longgar tanggunglah sedikit. Populer ilmiah, handeh.
Tiap tahun bisa dicetak minimal 10 buku di Sumbar. Buku 10 itu, dinilai pula kemudian, mana yang terbaik dikasih pula hadiah. Obat lelah namanya. Semacam cicit Nobel-lah, agak diberatkan pula aturannya. Sero itu. Itu kalau mau, jika tidak ya sudah. Kalau mau, apa yang tidak. Kapal terbang saja dibeli oleh urang awak, namanya Avro Anson. Pesawat terbang pertama milik republik. Uangnya dari emas emak-emak, dikumpulkan para ulama pada bulan Ramadhan. Dapat tuh pesawat satu waktu Agresi II.
Saya kita bisa dimulai 2023, seiring dengan rencana, mambangkik batang tarandam: Minang hebat.Nanti kita hebat lagi, sehebat zaman Hatta dan Marah Rusli. Sehebat zaman Karim Amrullah, Inyiak Canduang, Inyiak Parabek dan segenap ulama beken itu.Bisa tak? Bisa lah. Memang, jika Sumbar ingin bangkit pengaruh intelektualitasnya, maka masuk dari sisi literasi. Bangkitkan minat menulis apa saja dengan cara meriahkan penerbitan buku. Jadi jika sudah dimulai, kita akan disebut hebat dengan sendirinya, seperti Sumbar hebat, karena tidak membolehkan ritel nasional masuk.
Tapi, sesungguhnya, bukan soal hal yang saya tulis di atas itu semua, melainkan, bahu-membahu membangun dunia kehebatan Minang. Salah satu cara yaitu literasi. Yuk!Ide ini muncul saat saya diskusi sore dengan Musfi Yendra, yang baru saja menulis buku Ring Piston Kekuasaan. (***)