Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Foto Harian Singgalang
×

Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Bagikan opini

 

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu definisikan (takrifkan) terlebih dahulu apa itu adat istiadat dan apa itu budaya, mana yang lebih dulu adat dengan budaya. Adat adalah peraturan hidup, adat istiadat adalah ragam peraturan, ketika kedua-duanya sudah disepakati sebagai cara hidup bersama, maka itulah yang dikatakan sebagai budaya.Kembali kepada pernyataan Riki, mengapa saya menyarankan Riki harus hati-hati, karena dengan menyimpulkan bahwa adat budaya Minangkabau dapat berubah dan mengalami transformasi serta adaptasi sesuai tuntutan zaman, itu pernyataan yang sangat berbahaya. Karena di Minangkabau itu, adat terbagi empat, yaitu; adat nan sabana adat, adat yang diadatkan, adat nan teradat, serta adat istiadat. Dalam hal ini, ada adat yang bisa berubah dan ada adat yang tidak bisa dirubah, misalnya adat nan sabana adat, atau bahagian dari adat nan teradat. Kecuali semua orang Minangkabau sepakat untuk berpindah kiblat/agama, baru yang ini bisa dirubah.

Baca juga: Menteri Baru

Kalau hanya adat istiadat saja mungkin bisa, tapi belum tentu dengan adat budaya dalam semua makna. Di sinilah kita sebagai orang Minangkabau perlu untuk kembali memahami bahasa. Hati-hati dengan bahasa, karena bahasa dapat merubah budaya. Sebab itulah, ada tangan-tangan tersembunyi yang senantiasa bergerilya dan terus berupaya merusak bahasa suatu bangsa. Karena di sanalah salah satu pintu masuk untuk kembali dengan panjajahan gaya baru (neo-kolonialisme), menghancurkan sebuah bangsa atau kaum/etnik. 

  • Ketiga, berikutnya Riki kembali menekankan dan manilai isi artikel saya itu bahwa adat dan budaya tergeser akibat kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi, dianggap Riki termasuk dalam kategori kekeliruan dalam berpikir. Sebagai jawabannya, saya juga berpikir, mengapa Riki dengan latar belakang pendidikan filsafat yang mapan, mudah keliru dalam menerjemahkan pemikiran saya secara sempit?
Agar tidak dianggap menuduh, kekeliruan Riki dalam menerjemahkan tulisan saya, untuk sementara saya hanya mencurigai; mungkin karena perbedaan umur kami, dan cara berpikir dari generasi yang berbeda dengan latar belakang pengalaaman dan pendidikan yang juga berbeda. Saya sering merasakan, bila mana berhadapan dengan generasi yang seangkatan dengan Riki, sekarang kami sudah tidak lagi berbicara dalam bahasa Indonesia yang sama. Kami dan juga kalangan tua lainnya berbicara dalam bahasa yang berbeda, sehingga terjadi kekeliruan.

Di sisi lain, saya mungkin sebahagian kecil orang yang masih mencintai dan cenderung menggunakan bahasa Indonesia cara lama. Sedangkan Riki dan generasi se-angkatan-nya, termasuk berbagai kalangan intelektual (cendikiawan) kampus umumnya, cenderung menggunakan bahasa Indonesia moderen. Mengapa saya katakan demikian? Saya tidak akan membahas itu, tapi bacalah Chomsky (1968) dalam Language and Mind: Linguistic Contributions to the Study of Mind (Future). Apa lagi kalau soal ini dikaitkan pula dengan teori Binet (1907) yang menulis tentang The Mind and The Brain.  

  • Keempat, masih kelanjutan dari penjajahan bahasa. Hari ini proses merusak bahasa Indonesia memang sangat dahsyat. Tahun 2019 dari hasil penelusuran, saya menemukan sudah 519 kata-kata bahasa Inggris yang di-Indonesia-kan. Dari hasil penelusuran itu juga, saya menilai, cendikiawan kampuslah yang awalnya punya andil besar dalam merusak bahasa Indonesia ini. Karena mereka lah yang sering melakukan berbagai penelitian dengan sumber-sumber rujukan yang umumnya sangat berorientasi Barat. Lalu, kemudian dalam tulisan, termasuk dalam penjabaran atau pidato, mulailah keluar istilah-istilah Inggris yang di-Indonesia-kan ini, yang kemudian diikuti pula oleh kalangan tertentu yang juga ingin dianggap sebagai intelektual atau orang terpelajar.
Maka, terbentuklah dalam pemikiran orang awam, bahwa bahasa itu menunjukkan kecerdasan/kecendekiawanan/kemoderenan seseorang, hingga diikuti pula oleh rakyaek badarai, mengapa? Karena ada “gengsi” di sana. Akhirnya, proses pembodohan itu sekarang justru semakin parah. Lihatlah, hari ini orang Indonesia keinggris-inggrisan, dan orang Minangkabau ke-indonesia-indonesia-an, untuk apa? Agar ada gengsi, agar terkesan terdidik dan moderen, Ini lah salah satu kaitannya yang saya maksudkan dalam artikel “Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota” itu, yang dipahami secara keliru oleh Riki Saputra. Itu pulalah sebabnya sejumlah kata-kata Inggris yang sudah di-Indonesia-kan yang digunakan Riki, saya terjemahkan dalam kurung. Supaya orang-orang di pinggiran yang kurang tersentuh modernisasi  juga dapat kembali menarik manfaat pamahaman dari dialektika ini.

Hal ini karena saya pernah melakukan penjajakan, di lapau-lapau kampung, dan menemukan bahwa sebahagian orang di kampung-kampung sekarang menjadi malas membaca koran apa lagi buku, karena bahasa yang dituliskan sudah tidak mereka pahami lagi. “…kini uang babahaso tinggi miang, ndak ngarati wak kua nan dikecek an no” kata salah seorang dari mereka kepada saya beberapa tahun yang lalu. 

  • Kelima, pada penggalan kalimat berikutnya, Riki juga menyatakan: …Salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai adat budaya kepada generasi muda adalah dengan melestarikan dan mengajarkan kepada mereka, sehingga mereka dapat memahami dan menghargai warisan leluhur mereka sambil tetap dapat beradaptasi dengan perubahan zaman”. Pernyataan Riki ini adalah suatu pernyataan yang sifatnya sangat umum, dan sudah sangat sering kita dengar dari berbagai tokoh. Pertanyaannya bagaimana caranya, siapa yang akan melakukan itu? Kalau begitu mengapa mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) dulu dihentikan? Kalau memang itu penting, kenapa tidak diusahakan untuk dikembalikan? BAM adalah salah satu cara menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya Minangkabau.
  • Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini