Menjemput Gelar Pahlawan Nasional untuk Chatib Sulaiman

Foto Fikrul Hanif Sufyan
×

Menjemput Gelar Pahlawan Nasional untuk Chatib Sulaiman

Bagikan opini
Ilustrasi Menjemput Gelar Pahlawan Nasional untuk Chatib Sulaiman

Barangkali penegasan itu pantas digaungkan, mengingat sejak diajukan pada 2019, gelar pahlawan nasional belum kunjung dianugerahi padanya. Sebagai catatan penting, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diangkat oleh Bung Karno pada 1947, sekaligus Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) di masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) itu, tewas bersimbah darah dalam aksi genosida yang dilakukan serdadu Belanda dalam Peristiwa 15 Januari 1949. Tentu banyak yang bertanya, siapa Chatib Sulaiman?

Lahir di Sumpu dan Bergerak di Padang Panjang

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu lahir pada 1906 di Nagari Sumpur, Afdeling Tanah Datar. Ayahnya bernama Haji Sulaiman – seorang saudagar yang bermukim dan berniaga di Pasar Gadang Padang. Sedang ibunya bernama Siti Rahmah (Riwayat Hidup dan Perjoangan Chatib Suleiman, 1973). Terlahir dari suku Sumagek, Chatib bertumbuh di Pasar Gadang Padang – sebuah kawasan sibuk dalam transaksi jual-beli dan untuk urusan ekspor impor pada masa Kolonial Belanda hingga tahun 1970an.

Mengawali pendidikannya di Gouvernementschool, kemudian melanjutkannya di HIS Adabiah sebagai prasyarat memasuki Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Namun, sayang sekolahnya di MULO hanya sampai di kelas 2 karena ia kerap memprotes kebijakan sekolah, ditambah kesibukannya memainkan biola untuk film bisu di sejumlah bioskop di gemeente Padang. Meskipun putus dari MULO, Chatib berubah menjadi seorang yang otodidak (Sufyan, 2020).

Dunia dan pandangannya berubah, tatkala ayah angkatnya juga seorang saudagar kaya dan tokoh dibalik pergerakan di Sumatra Barat–yang bernama Abdullah Basa Bandaro, mengajak Chatib ke ibukota afdeling Batipuh X Koto, Padang Panjang.

Di kota garnizun ini Chatib menjadi guru di HIS Muhammadiyah dan Madrasah Irsyadunnas, kemudian ikut mewarnai pergerakan. Mulai dari mendirikan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931, hingga merintis Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) Cabang Sumatra Barat pada Desember 1932 (Kahin, 1979).

Di PNI Baru, Chatib merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik dan strategi–yang diarahkan pada kader-kader PNI Barunya Hatta–Sjahrir itu. Chatib tidak saja mengkader, juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada masyarakat melalui pers yang ia rintis bersama Leon Salim, yakni majalah “Pemberi Sinar” di Padang Panjang (Sufyan, 2023).

Politik represif Kolonial Belanda terhadap kaum pergerakan dengan ancaman di-Digoel-kan, memaksa Chatib mundur dari dunia pergerakan. Lewat bantuan seorang konglomerat, pemilik Bank Nasional dan PT Inkorba, Chatib mendirikan sekolah “Merapi Institut” tahun 1935 di Padang Panjang.

Yang membedakan sekolah yang dirintis Chatib ini, dengan lainnya adalah menolak subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Dua tahun setelah mendirikan Merapi Institut, Chatib kemudian merintis sekolah Seminary Islam di Padang Panjang. Tujuannya adalah melahirkan calon-calon guru agama Islam.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini