Ketika itu sedang waktunya “keluar main”. Di antara murid-murid yang bermain bersama-sama, ada beberapa orang dewasa yang menggunakan rompi hijau terang. Ketika kami tanya, rupanya mereka adalah guru yang mendapat tugas khusus, yaitu menjadi petugas piket yang siap untuk menangani masalah-masalah lapangan. Misalnya ada siswa yang bermasalah dengan temannya, atau terluka, maka mereka bisa langsung mengadu pada guru-guru memakai rompi hijau. Sengaja dicari warna mencolok supaya mereka bisa ditemukan dengan sangat mudah.Bagian paling menarik dari kunjungan ke Balcombe Grammar School adalah ketika kami masuk kelas. Di sana telah menunggu murid-murid dalam kelompok-kelompok kecil, siap untuk berdiskusi. Saya kebagian satu kelompok yang terdiri dari empat orang remaja. Ketika saya tanya, mereka ternyata murid SMP di sekolah itu.
Rupanya ini pertama kalinya bagi mereka punya pengalaman bertemu dengan seorang Muslim. Mereka bertanya tentang shalat. Saya dan teman menjelaskan bahwa kami shalat lima kali sehari. Satu orang menyatakan keheranannya. Kurang lebih dia bertanya begini “apakah kalian bisa benar-benar melakukannya lima kali sehari?” Sambi tersenyum saya menjawab “ya, kami bisa melakukannya, walaupun tidak semua Muslim mau melakukannya” Saya menjelaskan aspek rukhsah terkait shalat, misalnya jamak dan qashar, atau tayamum. Mereka mengangguk paham. Mereka juga bertanya tentang puasa, zakat dan haji. Saya dan duan teman lain bergantian menjelaskan dengan sederhana dan singkat. Mereka menangguk dan mengatakan “it is interesting”. Saya juga berpesan kepada anak-anak itu, jangan menilai Muslim lewat media.Ternyata sesi seperti ini bersambung di kelas lainnya dengan kelompok anak lainnya. Kali ini ada anak SMA-nya. Tapi tidak lagi tentang agama, namun tentang budaya Indonesia. Namun, akhirnya pembicaraan tetap saja beralih ke soal agama. Sama dengan kelompok sebelumnya, anak-anak ini sangat antusias dalam bertanya.
Di tengah diskusi saya mencoba memperhatikan teman-teman lain yang juga tengah diskusi dengan kelompok siswa lainnya. Di sudut ruangan, saya melihat pemandangan aneh. Karena kurangnya kursi, guru mengambil meja untuk dijadikan tempat duduk. Teman saya duduk di kursi, dan tiga orang murid diminta guru untuk duduk di atas meja saja.Maka terlihat di sana, dua orang pria dewasa duduk di atas kursi harus berdiskusi dengan tiga orang gadis SMA yang duduk di atas meja. Ternyata hal begitu biasa di sana. Bukan merupakan bentuk kekurangajaran seperti di tempat kita.
Yang paling menarik dari pemandangan itu adalah wajah seorang kawan kami yang paling Ustaz. Dia terlihat panik dan tidak nyaman. Apakah karena kemampuan Bahasa Inggris yang terbatas? Tentu tidak! Ini adalah jenis ustaz yang spesial, bahasa Inggrisnya sangat lancar. Apakah karena pengetahuan agama yang kurang mumpuni? Juga tidak! Sebab ia adalah ustaz alumni Timur Tengah. Jelas bukan kaleng-kaleng.Lalu apa?Gadis-gadis yang duduk di atas meja itu menggunakan seragam sekolah berupa rok yang tingginya di atas lutut. Mereka tidak menggunakan legging, karena hanya opsional. Alias boleh pakai dan boleh pula tidak. Jadi Pak Ustaz harus menjelaskan Islam di depan paha siswa SMA Australia. Maka wajah Pak Ustaz kita siang itu tampak oleh saya memerah serupa kepiting rebus, sedangkan matanya terlihat berjuang supaya tetap bersih dari dosa. Ha ha ha.