Meramadhankan Jiwa Menggapai Kebahagiaan

Foto Dr. Zulkifli, M.A.
×

Meramadhankan Jiwa Menggapai Kebahagiaan

Bagikan opini

Dr. Zulkifli, M.A.(Mudir Ma’had al-Jami’ah Tuanku Imam Bonjol, UIN Imam Bonjol Padang)

Hiruk-pikuk kehidupan dunia bak nyanyian air di tengah hutan belantara. Tidak ada kepedulian terhadap bebatuan dan tebing tinggi yang keras, air itu hanya mengalir menuju hilir yang rendah bahkan curam. Di tengah kerendahan hilir, air terkadang menghidupkan dan mematikan. Di tengah kecuraman tebing tinggi, air terkadang membentuk keeksotisan dan kehancuran bagi bebatuan yang keras. Kendati demikian, sesuatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa air senantiasa menyelusup ke dalam pori-pori tanah dan sendi-sendi tubuh. Menyelinap ke dalam inti batang pepohonan atau ke dalam sel darah demi arti sebuah kehidupan. Begitu juga hiruk-pikuk kehidupan yang senantiasa memberikan arti bagi jiwa. Terkadang jiwa mengalami ketenangan dan ketentraman dan terkadang jiwa mengalami keguncangan yang sangat dahsyat.Ketenangan dan ketentraman jiwa di tengah hiruk-pikuk kehidupan mengindikasikan ada sebuah titik sentral (baca: God Spot) di dalam hati manusia yang tidak terciderai. Titik sentral yang senantiasa mengirimkan rasa sehingga manusia merasakan sesuatu sebagai artikulasi dari arti kehidupan itu sendiri. Titik sentral yang senantiasa memilah dan memilih suatu keputusan dengan berakhir di dalam ranah kebaikan ataupun keburukan. Apabila titik sentral itu dididik dan dilatih dengan selalu menyebut serta berbuhulan dengan Sang Pemilik dan Pengaturnya, niscaya merefleksikan cahaya dan perbuatan baik di dalam kehidupannya. Begitu juga sebaliknya, titik sentral itu mampu merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan pada saat kehilangan ikatan dengan Sang Pemilik dan Pengaturnya. Bagaikan sebuah kapal layar yang kehilangan nativigasi diakibatkan kerusakan kompas sebagai penunjuk arah. Akibatnya, titik sentral yang semestinya menyimpan “rasa” agar bisa merasakan sesuatu, pada akhirnya dibelenggu oleh daya “merasa” sebagai wujud kesombongan sekaligus bentuk kejahatan.

Keterbelengguan titik sentral menjadikan jiwa manusia terguncang. Keguncangan dialami pada saat titik sentral tidak dapat lagi memancarkan cahaya (al-nur) keluar dari dirinya. Dalam waktu bersamaan, pengendapan cahaya di dalam inti cahaya selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun mengantarkan titik sentral kehilangan buhulan dengan Sang Pemiliknya. Bahkan ironisnya, inti cahaya menjadi redup seiring dengan tumpukan cahaya yang tidak bisa mengalir dari titik sumbernya, sehingga inti cahaya menjadi padam (mati). Kondisi ini seakan-akan sama dengan kondisi air yang tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk menyucikan diri dari hadats dan najis. Sebab, air yang tidak mengalir mengalami pengendapan sampai pada titik pembusukan. Dengan demikian, pengendapan cahaya di dalam inti cahaya yang terbelenggu oleh daya “merasa” memiliki sisi persamaan dengan pembusukan air yang tidak bisa mengalir dari wadahnya.Inti cahaya yang mati itu mesti dibebaskan dari keterbelengguannya agar kembali bisa memancarkan cahayanya ke seluruh tubuh manusia. Kondisi ini ditandai dengan munculnya perkataan dan perilaku yang senantiasa menebarkan kemashlahatan, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain serta alam semesta. Penggiringan sekaligus pemaksaan terhadap jiwa (al-qalb) untuk bertaubat dan meminta ampunan (al-istighfar) kepada Sang Pemiliknya menjadi tahapan awal dalam rangka pembebasannya dari keterbelengguan. Kondisi ini yang disinggung Imam Ibnu ‘Atha’illah dengan ungkapan: “... bagaimana seseorang berharap bisa memahami rahasia-rahasia ketuhanan yang terdalam, sementara dia belum bertaubat dari segala bentuk kesalahannya”. Atau dengan ungkapan yang lain, Imam Ibnu ‘Atha’illah menggambarkan bahwa: “... bagaimana seseorang bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan, sementara dia terbelenggu oleh keinginan-keinginan dirinya sendiri”. Atas dasar itu, pertaubatan dan meminta ampunan menjadi pintu masuk agar noda-noda yang menutup jiwa dapat dibersihkan, sehingga kembali memancarkan cahaya.

Tahapan ini diiringi dengan memberikan asupan jiwa melalui dzikrullah (menyebut nama Allah), baik secara al-jahr (terang dan jelas) dengan al-lisan maupun secara al-sir (tersembunyi) dengan al-qalb. Dalam konteks ini, seseorang membutuhkan guru (al-murabbiy) agar tidak mengalami kesalahan sekaligus terhindar dari praktek yang sesat dan menyesatkan. Jika boleh dianalogikan penyebutan dan pengingatan diri kepada Allah untuk penumbuh-kembangan rasa cinta (mahabbah) ke dalam ranah hubungan manusia dengan manusia, maka seorang pemuda senantiasa menyebut nama perempuan yang ditaksir agar rasa cintanya tumbuh dan berkembang di dalam jiwanya. Kendati demikian, terdapat perbedaan yang sangat signifikan ketika seseorang yang melazimi dzikrullah senantiasa memperoleh ketentraman jiwa, sementara seseorang yang melazimi menyebut dan mengingat sesuatu yang dicintai selain Allah akan senantiasa mengalami guncangan jiwa. Atas dasar itu, upaya menghidupkan inti cahaya yang dapat memancarkan cahaya di jiwa hanya bisa dilakukan melalui praktek dzikrullah dalam kondisi dan waktu apapun.Praksis dzikrullah ini menjadi pintu masuk untuk meramadhankan (membakar) kotoran dan kelalaian yang acap kali menempeli jiwa sekaligus membentuk rasa mahabbah ilallah. Hal ini ditandai dengan salah satunya dilakukan oleh sebagian umat Islam dengan praktek suluk di surau. Dalam konteks ini, surau menjadi simbol untuk menegaskan bahwa zikir yang dilakukan memiliki tujuan atau capaian akhir yang dituju, memiliki materi yang dikaji untuk membentuk kesadaran, kebudayaan, dan keberdayaan jiwa, memiliki metode yang diterapkan berasal dari sanad dan silsilah keilmuan yang jelas, dan memiliki evaluasi dalam bentuk pengontrolan Sang Guru, sehingga dapat melanjutkan wiridan ulama salaf al-shaleh atau mesti menambah materi pendalaman agar menemukan titik terang tentang arti hidup dan kehidupan. Ketika kekokohan zikir dan rasa cinta kepada Allah terwujud, niscaya kotoran yang berupa wujud material seperti harta, tahta, dan wanita (duniawi) dapat dikikis atau bahkan menjadi hancur. Sesuatu yang tersisa hanyalah materi yang dijadikan sebagai instrumen pencapaian syuhud, bukan menjadi tujuan dari kehidupan.

Syuhud sebagai pencapaian puncak meramadhankan jiwa dapat mengantarkan seseorang ke dalam lautan tauhid. Lautan tauhid menjadi satu titik kebahagian jiwa manusia. Kebahagiaan yang tiada ternilai dengan sesuatu apapun jua di alam semesta. Imam Ibnu ‘Atha’illah memotret kondisi ini dengan suatu ungkapan: “Orang-orang yang masih dalam tahap perjalanan menuju Allah, mereka memperoleh jalan menuju kehadirat-Nya melalui cahaya tawajjuh. Sementara itu, orang-orang yang telah sampai kepada Allah (syuhud), niscaya mereka memperoleh jalan menuju kepada-Nya dengan cahaya muwajahah. Kelompok pertama sedang mencari cahaya, sedangkan kelompok kedua cahaya senantiasa menyertai mereka. Sebab, kelompok kedua seluruh jiwanya hanya untuk Allah bukan untuk yang lain. Lantaran menyebutkan kata “Allah”, mereka tenggelam di dalam telaga tauhidnya”. Dalam konteks ini, Gus Ulil Abshar Abdalla menyederhanakan uraian Imam Ibnu ‘Atha’illah dengan kalimat bahwa “manusia pada dasarnya adalah wujud yang bercahaya. Dia bisa menerangi kegelapan di sekitarnya. Namun, ini tergantung kepada manusia yang bersangkutan”. Atas dasar itu, meramadhankan jiwa menjadi kunci menggapai kebahagiaan.Wujud implementatif capaian kebahagiaan terefleksi melalui aktivitas kehidupan. Hal ini ditandai dengan tingkat rasa syukur yang dimiliki, baik kemampuan mensyukuri tempat kerja maupun mensyukuri hasil yang diperoleh di tempat kerja. Sederhanya dapat diungkap di dalam kalimat: ketika anda diterima untuk bekerja di sebuah lembaga, bersyukurlah. Sebab, Allah telah menyediakan wadah bagimu untuk menunaikan kewajiban anda sebagai seorang yang memiliki ilmu. Ketika anda diberi hadiah berupa gaji, tunjangan dan lain sebagainya, bersyukurlah. Sebab, Allah telah memberikan nikmat yang akan dipergunakan untuk amal ibadahmu. Bukanlah lembaga menjadi tempat anda bekerja dijadikan sebagai tempat usaha sehingga anda memperoleh upah, tetapi lembaga pemerintah (baca: rakyat) ataupun yayasan (baca: umat) telah menyediakan fasilitas bagi anda dalam rangka menunaikan kewajiban anda sebagai seorang yang ‘alim. Pada akhirnya, karakter dan mentalitas seseorang yang telah dibangun melalui proses meramadhankan jiwa, dapat mengantarkannya ke ranah kebahagiaan.

Wallahu a’lam bi al-shawab!!!

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini