Plesiran dan Wisata Lebaran Anak Kampung Awal Abad Ke-20

Foto Gusti Asnan
×

Plesiran dan Wisata Lebaran Anak Kampung Awal Abad Ke-20

Bagikan opini

Oleh Gusti Asnan(Dept. Sejarah, FIB, Unand-Padang)

Bila pada tulisan-tulisan sebelumnya kita hampir selalu membincangkan aktivitas wisata wisatawan mancanegara atau orang kota di Sumatera Barat, maka kali ini kita bicarakan aktivitas wisata seorang anak kampung Urang Awak. Lebih khusus lagi, kita bincangkan plesiran dan wisata lebaran seorang anak kampung di kampung halamannya, dan nagari-nagari yang berdekatan dengan kampungnya.Kita pilih kisah seorang anak kampung karena pengalamannya juga mewakili pengalaman anak-anak kampung yang lain berplesiran atau berwisata saat lebaran dahulunya. Lebaran kita ambil sebagai pokok bahasan kali ini karena sebentar lagi lebaran akan tiba.

Anak kampung yang kita maksud adalah Muhammad Rajab. Pengalamannya kita ambil  dari autobiografinya yang berjudul Semasa Kecil di Kampung 1913-1928 yang terbit pertama kali tahun 1950.Muhammad Rajab, dengan nama kecil Rizal, mengatakan bahwa kampungnya bernama Sumpur, sebuah kampung di tepian utara Danau Singkarak.

Rizal mengisahkan pengalamannya berplesiran dan berwisata lebaran dalam dua bab khusus dalam bukunya: pertama pada Bab 19 dengan judul ‘Berlebaran’  dan kedua bab 20 dengan ‘Melawat ke Sulit Air’. Dalam dua bab itu disajikan sejumlah persiapan dan kegiatan yang dilakukan Rizal dalam rangka menyambut dan selama lebaran.Rizal menulis sejumlah persiapan material untuk berplesir seperti uang, baju (pakaian) dan aksesori lainnya dan ‘perlengkapan’ perayaan lebaran.

Rizal menyebut dia mempuyai uang 1 rupiah yang akan ‘dihabiskan’ saat lebaran. Uang 1 rupiah itu sudah cukup besar saat itu. Rizal menyebut, uang sebesar itu bisa digunakan untuk berplesiran dengan bendi atau membeli berbagai macam penganan. Persiapan material kedua adalah baju, celana, jas, sarung batuk, kopiah, sepatu dan minyak wangi. Sedangkan ‘perlengkapan’ lebaran lainnya berbentuk mercon dan rokok. Anak nagari lainnya juga menyiapkan kaca mata hitam, arloji, dlsbnya.Rizal menyebut sejumlah prasarana dan sarana yang dipakai pada saat plesiran dan berwisata. Prasarana yang lazim adalah jalan raya dan jalan kereta api. Sarana yang dipakai atau dimanfaatkan adalah bendi, perahu, dan kereta api.

Atraksi wisata di antaranya plesiran dengan bendi, pacu sampan, naik kereta api, menyaksikan acara ‘seni’.Objek wisata yang dikunjungi Rizal adalah danau, pasar, kampung/nagari lain (Seberang, Cintuk, Tanjung Alai dan Sulit Air), dan Ngalau yang mengandung kisah ‘sejarah’ dan puncak bukit dengan pemandangan yang indah.

Perilaku Rizal dan kawan-kawan sebayanya serta warga daerah secara keseluruhan saat lebaran sangat beragam. Aksi-aksi itu bisa diwujudkan dalam bentuk ‘kenakalan anak-anak’ hingga kegiatan yang sifatnya ‘badunie’.Plesir yang dimaksud atau dilakukan Rizal adalah bertamasya. Tamasya dilakukan dengan berjalan-jalan ke Subarang, Cintuk, Tanjung Alai dan Sulit Air. Tamasya dilakukan dengan berjalan kaki, misalnya berjalan dari kampungnya ke Subarang. Dari Subarang ke Cintuk dilakukan dengan bendi. Berbendi-bendi adalah plesiran utama yang dilakukan Rizal dan kawan-kawannya.

Saat itu juga ada tamasya (pesiar) dengan mobil, tapi itu dilakukan anak (orang) kaya.Saat Rizal berplesiran ada sekitar 20 bendi yang beroperasi antara Subarang dengan Calau. Semua bendi itu milik orang Malalo. Sewa bendi sebesar 5 sen per penumpang. Harga itu dikatakan Rizal murah. Murahnya sewa bendi membuat Rizal dan kawan-kawan bisa berbendi-bendi sebanyak beberapa kali.

Rizal sangat terkesan dengan plesiran babendi-bendi itu. Kusirnya ramah, dia selalu bercerita sepanjang perjalanan. Dia juga menjawab semua pertanyaan yang diajukan Rizal dan kawan-kawannya. Dari sang kusir Rizal tahu bahwa saat itu anak nagari sedang keranjingan memakai kaca mata hitam dan arloji kaleng.Rizal senang berbendi karena di bendi para penumpang (Rizal dan kawan-kawannya) ‘bisa berbuat apa saja’. Beberapa perbuatan yang mereka lakukan antara lain melemparkan mercon ke penumpang bendi lain atau pada orang yang berjalan kaki. Menghina atau melecehkan anak-anak (orang) yang berjalan kaki.

Bendi yang ditumpangi Rizal dan kawan-kawan sudah tua dan jika berjalan, apalagi melalui jalan berlobang, maka bendi itu bergoncang hebat dan berderak-derak, serasa akan rerak bodinya. Kondisi yang relatif sama juga dimiliki oleh bendi-bendi yang lain.Walau bagaimana pun kondisi bendinya, Rizal mengatakan dia senang berbendi-bendi.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini