Malangnya Nasib Si Minang, Hanyut Dalam Fatamorgana: Satu Lagi Otokritik

Foto Dirwan Ahmad Darwis
×

Malangnya Nasib Si Minang, Hanyut Dalam Fatamorgana: Satu Lagi Otokritik

Bagikan opini

Benar, belakangan ini saya sering mengkritisi Minangkabau, hingga ada orang yang menganggap saya benci dan punya dendam terhadap Minangkabau, malah ada seorang tokoh yang marah-marah saja. Tapi kebanyakannya mendukung, dan dampak dari tulisan itu di antara sesama pembaca bahkan banyak terjadi debat panas, terutama di media sosial. Semisal di group-group Whatsapp atau Facebook. Dalam salah satu debat; Si A bertanya, “…apak bangih-bangih ko, alah apak baco sadonyo tulisan tu?” Jawab si B: “…maleh den, panjang amek, mambaco judulnyo se lah sakik hati den”. Kata si A lagi: “…itu namonyo apak basumbu pendek, baco lah dulu, pahami, baru apak ngecek”. Tapi yang namanya orang Minang, jangankan kalah, podo (draw) saja tidak mau dia, dan terjadilah debat kusir tak berujung. Tapi memang begitulah gejala atau ciri khas diskusi di media sosial dalam dunia moderen ini.

Otokritik, membangun pemahaman bersama

Sesungguhnya yang saya lakukan itu adalah “oto-kritik”, yakni mengkritik diri sendiri atau masyarakat sendiri, demi kepentingan bersama. Itulah cara saya untuk menarik perhatian, sebagai wujud dari rasa cinta kepada Minangkabau, jauh sekali dari dendam dan rasa benci. (Kalau benci itu diartikan sebagai: benar-benar cinta, iya betul itu). Setelah tulisan berjudul “Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota” menyebar dan sangat viral waktu itu, di beberapa tempat terjadi diskusi online, termasuk beberapa seminar yang sengaja diadakan serta mengangkat isu tersebut. Alhamdulillah saya dapat kesempatan menyampaikan secara langsung kepada masyarakat mengapa oto-kritik tersebut dilakukan.

Satu hal yang menggembirakan, setiap kali tulisan diterbitkan, nampaknya berhasil memunculkan kembali dialektika, yaitu debat pemikiran sebagai salah satu ciri khas kalangan cerdik cendikia Minangkabau tempo dulu. Fenomena dialektika itu hari ini dapat dikatakan sudah hampir padam. Munculnya kembali riak-riak dialektika itu, walaupun kini sering kebablasan, tapi setidaknya benih-benih itu kini mulai muncul lagi disebabkan tulisan. Seandainya semakin banyak kalangan yang menulis tentu akan semakin meningkatkan kecerdasan dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai hal kehidupan.

Dari beberapa sumber rujukan, kata ‘fatamorgana’ diartikan sebagai suatu bayangan udara di mana terjadinya ilusi optik (sifat dan interaksi cahaya). Namun fatamorgana juga sering diartikan atau digunakan sebagai gambaran ilusi/bayangan atau persepsi/pandangan yang salah terhadap sesuatu. Dan, dalam tulisan ini, saya menggunakan kata itu sesuai dengan pengertian yang kedua. Selanjutnya, yang saya maksud dengan si Minang di sini adalah kebanyakan orang Minangkabau zaman sekarang. Apakah orang dewasa, yang muda atau remaja. Intinya, tulisan ini menyigi tentang prilaku orang Minang hari ini yang kebanyakannya tidak lagi mencerminkan ciri khas prilaku orang Minangkabau, dari sudut pandang budaya.

Pentingnya memahami budaya, bahasa dan sejarah

Sering saya sampaikan, dalam masyarakat zaman sekarang, kata “budaya” dimaknai hanya sebagai hal-hal terkait kesenian atau hal-hal yang bersifat tradisi saja. Penyempitan makna inilah salah satu pangka bala (sumber masalah) mengapa budaya sering kali dipandang sebelah mata, dianggap tidak perlu dan tidak penting. Pada hal, dalam bahasa yang lebih sederhana, “budaya” itu artinya cara hidup, dan ketika kita bicara soal “cara hidup” cakupannya tentu sangat luas sekali. Penyempitan makna ini pula lah yang menyebabkan budaya sering ditempelkan sebagai unit tambahan, dan hanya dipandang sebagai penunjang kegiatan kepariwisataan saja.

Lebih jelas, untuk melihat bahwa budaya itu bukan hanya kesenian atau tradisi saja. Contohnya, mengapa anak-anak zaman sekarang nakal-nakal, susah diatur, suka melawan orang tua dan guru? Ini adalah masalah budaya! Mengapa anak-anak sekarang sudah masuk ke sekolah agama semisal pesantren atau lainnya, bahkan ada yang sudah haviz al-Qur’an, rajin sholat, tetapi kurang bersopan santun, kasar dan tidak pandai bertegur sapa, serta kurang mampu bergaul? Ini masalah budaya! Mengapa para orang tua sekarang sering kali tak terima jika prilaku anak-anak mereka ditegur orang lain? Bahkan ada guru yang akhirnya berurusan dengan hukum, karena dikadukan oleh orang tua tersebut, yang berlindung dibalik undang-undang HAM? Ini masalah budaya! Mengapa semakin lama negeri ini terasa makin amburadul, dipenuhi oleh orang-orang yang tidak jujur, pejabat bejat, korup, dan lain sebagainya? Ini masalah budaya! Mengapa di antara anak negeri ini sekarang hilang rasa persaudaraan, hidup nafsi-nafsi, sering bertengkar, bikin kegaduhan, sulit untuk membangun kesepahaman? Ini masalah budaya! Mengapa banyak orang sekarang berpangkat tinggi, punya titel panjang tapi kurang adab? Ini masalah budaya! Banyak sekali permasalahan budaya ini kalau didata satu per satu. Belum lagi kalau dihitung soal kebejatan moral yang kini melanda generasi, yang sudah terlalu banyak diberitakan oleh media. Ini semua masalah budaya! Celakanya, bagi sebahagian orang yang tidak paham budaya, mendengar kata budaya saja, mereka mulai lemas karena memandang rendah. Karena dalam pikiran mereka sudah terbentuk bahwa mendiskusikan budaya itu tidak ada gunanya, buang-buang waktu saja, tidak ada duitnya.

Sebagai cara hidup, budaya itu dalam kata kerjanya adalah gambaran ‘budi & akal’. Wibawarta dalam Darwis (2017:12) menyatakan, prilaku manusia itu cenderung berubah sesuai perkembangan zaman. Mempengaruhi ‘cara berpikir’, dan ‘cara hidup’ masyarakat. Keberlangsungan kedua hal itu bersifat kebudayaan yang nanti akan menghasilkan sebuah peradaban, dan peradaban itu sendiri sangat erat hubungannya dengan budaya dan juga sejarah. Sebagaimana pergeseran kebudayaan sekarang akan menjadi sejarah di kemudian hari.

Selanjutnya, melalui “bahasa” lah budaya itu diungkapkan, disebarkan, dipelihara atau dilestarikan. Bahasa membentuk persepsi kita, mempengaruhi cara berfikir, melalui bahasa juga kita berinteraksi dengan orang lain, mentafsirkan tentang sesuatu, memahami warisan dan kekayaan budaya. Di sisi lain, kebudayaan membentuk struktur dan evolusi bahasa. Sehingga budaya dan bahasa bagaikan dua sisi mata uang, keduanya secara bersama membentuk ikatan tak terpisahkan, saling mempengaruhi dan mencerminkan satu sama lain dalam berbagai cara (Jovitasari & Erlangga 2023). Ringkasnya menurut Imai et al (2015), bahasa, budaya, dan pikiran itu senantiasa saling memengaruhi dan terkait antara satu sama lain dalam membentuk kognisi manusia.

Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini