Debat tanpa Elaborasi

Foto Oleh : H. Basril Djabar
×

Debat tanpa Elaborasi

Bagikan opini

Saya menjadi anggota di banyak WAG Minang dan menemukan kecerdasan yang luar biasa dari sejumlah anggotanya. Sayang kemudian, tidak dielaborasi oleh anggota lainnya. Dunia online sekarang, memberi peluang kepada kita untuk mendapatkan pikiran-pikiran cerdas. Sebaliknya menghentikan atau mengurangi pertemuan tatap muka sehingga minim sekali langkah elaborasi, membedah ide secara detail dan menjadikannya program untuk Ranah Minang. Akhirnya tertimbun dalam tumpukkan sampah medsos.

Karena berbicara soal Sumbar setiap hari di WAG itu, saya ingin berbagi bagaimana Sumbar bergerak sejak kepemimpinan Harun Zain. Kala itu yang dilakukan mantan rektor Unand ini, mambangkik harga diri dan memacu pertumbuahan ekonomi. Semua dilakukan dengan cara bertemu banyak orang, rakyat biasa dan tokoh. Semua mendukung. Rakyat berharap dan harapan itu didapat.

Tidak ada keangkuhan spritual, yang ada kampung dan kota-kota kecil kita yang lusuh terus dibangun.

Disambung Azwar Anas yang seperti “anak sendiri” oleh Harun Zain. Pendekatannya yang humanis, sentuhan agamanya tidak dibuat-buat, kecendikiawanannya, upaya-upayanya membangun Ranah Minang, membuat rakyat menanamkan rasa hormat yang takzim. Sumbar telah bangkit, gubernur selanjutnya tidak menemukan kesulitan berarti, ekonomi membaik dan kehidupan sosial kemasyarakatan demikian juga.

Zaman lampau yang belum jauh ke belakang itu, memberi harga diri yang tinggi pada orang Minang. Salah satu aspek yang bisa dilihat adalah, tiap periode kepemimpinan presiden, selalu ada dan banyak orang Minang menjadi menteri. Bagi orang Minang, jangankan hal baik, musibah saja juga diperiksa apa ada orang Minang di sana. Pesawat jatuh dimanapun, diperiksa, “ado urang awak ndak?”

Pemimpin jika tak bisa menangkap perasaan rakyat semacam itu, bukanlah pemimpin yang berkaliber.

Pikiran bernas

Seperti disebut terdahulu, di WAG saya mendapatkan pikiran-pikiran bernas dari beberapa orang yang sepanjang saya tahu tidak diambil oleh pemimpin untuk dielaborasi. Lalu kemudian muncullah perdebatan tak berujung. Bahkan jelas- jelas disebut, “memberi masukan disebut oleh pemerintah mengeritik.” Pemerintah selalu tak mau akan hal itu. Maunya minta jalan keluar. Berpuluh tahun bekerja masih saja minta disuapkan. Aneh benar.

Membaca gelagat sosial adalah sebuah kepintaran yang tak diajarkan di sekolah. Itulah yang dimiliki Soeharto, belum oleh presiden yang lain, kecuali sedikit oleh SBY. Cara pandang semacam itulah yang menyebabkan kenapa pikiran-pikiran bagus dan orang-orang cerdik dari Minang dipakai oleh Soeharto. Juga dari suku bangsa penting lainnya. Maka muncullah stabilitas politik yang baik, walau Soeharto banyak juga kurangnya. Sekarang tujuan utama pemimpin bukan itu, tapi hal lain, yaitu kekuasaan belaka.

Lalu era reformasi lahir prematur dan saat momentun yang tak tepat. Sampai sekarang tak selesai-selesai. Maka, rusaklah bangsa ini. Bangsa ini kemudian berjalan di takdir yang lain.

Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini