Takrif Ekonomika Islami ”Ilmu yang mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridha Allah swt.”. Secara falsafah (epistemologi, ontologi dan aksiologi), ekonomi syariah berbeda dengan ekonomi konvensional. Epistemology ekonomi syariah, sumber utamanya Al-qur’an dan hadits. Justifikasinya jelas. Metodologinya jelas. Sehingga, ekonomi syariah merupakan ’pendekatan baru bagi ilmu ekonomi.
Ontologi ekonomi syariah berisikan pemahaman Islam terhadap realitas ekonomi. Hal ini mencakup konsep-konsep dasar dari ekonomi syariah. Sehingga ekonomi syariah merupakan ’perspektif baru’ bagi ilmu ekonomi. Sementara aksiologi melihat bias nilai dalam ekonomi dan memasukkan etika Islam dalam ekonomi. Sehingga, ekonomi syariah merupakan ’orientasi nilai baru’ dalam ilmu ekonomi. Jika dirangkum, maka ekonomi syariah merupakan pendekatan baru, perspektif baru dan orientasi nilai baru dalam ilmu ekonomi.
Bila saya merujuk kepada buku “Ruqyah Syar'iyyah; Teori, Model, dan Sistem Ekonomi”, yang ditulis oleh guru saya Bapak Murasa Sarkaniputra bahwa format Ekonomika Islami dibangun berdasarkan simpulan antara ontology; Tauhid, Rukun Islam pertama. Epistemologi; Rukun Islam (Laam ()) dan Rukun Iman (Miim ()) dan Axiology :Al-Faatihah; Kesatuan Ilmu (‘alima ()) dan Amal (‘amila ()) , dari rumusan format ekonomika islami tersebut maka terdapat lima prinsip-prinsip Ekonomika Islami dapat mencakup nilai yang bersenergi dalam kesatuan nilai nilai Islami yang mewarnai system dan model ekonomi; (i)Tauhid dan persaudaraan, (ii). Terutamakannya kerja dan produktivitas dari setiap kegiatan ekonomi, (iii). Terjaminnya kerjasama yang berkeadilan antar aktor ekonomi baik dalam akad produksi, distribusi maupun konsumsi untuk memenuhi kebutuhan manusia, (iv).Terakomodasikannya kepemilikan orang seorang yang berfungsi sosial dan berpihak kepada kepentingan umum, dan (v). Tegaknya keadilan distributif untuk setiap kegiatan ekonomi dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Bila merujuk lagi pada pemikiran Imam Syatibi bahwasanya ada 5 tujuan syariah (maqashid syariah) yang ingin dicapai dalam ekonomi Islam, yaitu: memelihara agama (hifzud din), memelihara jiwa (hifzun nafs), memelihara akal (hifzul ’aql), memelihara keturunan (hifzun nasl), dan memelihara harta (hifzul maal). Jika dikorelasikan dengan Pancasila, Maka Pancasila perwujudan dari ’maqasid syariah’dalam penafsiran ekonomi pancasila. Dalam Pancasila, Pertama, Hifzud din dimaknai dengan ’Ketuhanan yang Maha Esa’. Kedua, Hifzun nafs, dimaknai dengan ’Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Ketiga, Hifzun nasl, melindungi keutuhan keluarga besar, dimaknai dengan ’Persatuan Indonesia’. Keempat, Hifzl ’aql dimaknai dengan ’Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Kelima, Hifzul maal dimaknai dengan ’Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Tafsir Ekonomi Syariah
Dari korelasi yang sangat kuat antara Pancasila dengan maqasid syariah dan dengan lima prinsip-prinsip Ekonomika Islami diatas, maka dapat dijabarkan 5 tafsir ekonomi syariah yang menurut hemat penulis merupakan Ekonomi Pancasila, yaitu: ekonomi tauhid, ekonomi kemanusiaan, ekonomi persatuan, demokrasi ekonomi dan Ekonomi Keadilan.Ekonomi Tauhid sebagai tafsir sila pertama, bermakna bahwa ekonomi ini harus dijalankan sesuai apa maunya Allah, bukan apa maunya manusia. Cara-cara mendapatkan sumberdaya dalam ekonomipun harus sesuai dengan perintah Allah. Cara-cara mempergunakan sumberdaya itupun harus tidak bertentangan dengan perintah Allah. Oleh karena itu, sumber hukum utama untuk ekonomi syariah adalah Al-Qur’an dan Al-hadits. Sila pertama ini diambil dari inti Qs Al-Ikhlas, 112 ayat pertama yang artinya: ”Katakanlah Dia lah Allah, yang Maha Esa”.
Ekonomi Kemanusiaan sebagai tafsir sila ke-2, adalah ekonomi yang tujuan utamanya adalah mensejahterakan manusia. Ekonomi yang dijalankan dengan adab dan etika. Ekonomi yang sehat. Ekonomi yang tidak serakah. Ekonomi yang ditegakkan dengan keadilan. Sila kedua ini diambil dari intisari Qs An Nisa, 4 ayat 135 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan”.
Ekonomi persatuan sebagai tafsir sila ke-3, digerakkan atas dasar kebersamaan, bukan egoisme. Ekonomi yang memotivasi terjadinya kerjasama, bukan perpecahan. Persatuan ini merupakan perintah Allah dalam Qs Ali Imran, 3 ayat 103 yang artinya : ’Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai….’ Persatuan ini juga unik, karena dari berbagai suku, direkatkan ke dalam persatuan Indonesia. Sila ketiga ini diambil dari intisari Qs Al Hujurat, 49 ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.
Demokrasi ekonomi sebagai tafsir sila ke-4 adalah ekonomi yang dirasakan oleh rakyat banyak. Demokrasi ekonomi itu adalah dipindahkannya kekuasaan untuk mengambil keputusan dari pemilik modal ke masyarakat. Sehingga, demokrasi ekonomi adalah anti kapitalisme. Tingkat penyelenggaraan demokrasi ekonomi itu ada dua, yaitu (1) tingkat kepemilikan dan akumulasi kekayaan yang meliputi : akses thd tanah, akses thd rumah, akses thd pendidikan dan kesehatan, akses thd produk perbankan bagi kaum miskin, biaya pembentukan badan usaha, dan distribusi perolehan sumberdaya, dan (2) tingkat perusahaan yang meliputi koperasi dan BUMN, BUMD, maupun BUMDes. Sila keempat ini diambil dari intisari Qs As-Syuro,42 ayat 38 yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-Nya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.