Tepat tanggal 26 Desember 2024, 20 tahun sudah Aceh diporak-porandakan oleh gempa bumi dan gelombang tsunami. Saat itu dikala masyarakat usai melaksanakan ibadah sholat subuh dan melanjutkan aktivitas olah raga bersama, gempa bumi besar melanda Aceh. Saya beserta sebagian besar warga kota Banda
Aceh panik. Saat itu saya lihat orang-orang pada berlarian tidak tahu arah. Sedangkan saya beserta keluarga belum mengambil sikap dan tetap tenang di rumah.
Ditengah-tengan suasana panik karena gempa tersebut, tiba-tiba ada berita bahwa Banda Aceh dilanda banjir besar. Saat itu kita belum kenal dengan istilah tsunami. Informasi tentang banjir “bah” yang berlangsung sekejab mendorong sayauntuk melihat suasana sekitar Banda Aceh. Karena memang tempat tinggal saya tidak jauh dari pendopo Gubernur Aceh.
Setelah melihat dilapangan, saya jadi kaget dan tidak percaya – di beberapa penjuru jalan raya sudah banyak terlihat mayat-mayat manusia bergelimpangan.
Bangunan-bangunan tinggi sekitar rumah saya banyak yang roboh, bancur dan retak.
Sampah-sampah bekas bangunan berserakan dan bertumpuk dimana-mana. Beberapa menit setelah gempa dan tsunami tersebut, muncul gempa susulan yang membuat masyarakat kota jadi tidak tenang dan panik. Sebagian diantara mereka ada yang berteriak sambil menangis, dan sebagian lainnya ada yang melafazkan “Allahu Akbar”.Saat gempa bumi dan gelombang tsunami terjadi, Aceh masih dalam suana konflik antara pemerintah dan GAM.
Setengah hari sebelum tsunami Aceh, tepatnya tanggal 25 Desember 2004 malam sebetulnya saya dengan beberapa perantau Minang lainnya di Aceh sedang melaksanakan rapat. Kegiatan rapat yang dimulai pada pukul. 20.00 Wib s.d. pukul 23.30 Wib awalnya bertujuan untuk memulihkan semangat dan membangkitkan
kebanggaan sebagai urang awak di Aceh. Karena agenda pembicaraannya terlalu banyak, maka rapat berlangsung lama. Saat itu kita membahas akan mengadakan kegiatan halal bilhalal yang sudah lama tidak digelar di Banda Aceh. Karena Aceh berada dalam suasana konflik, maka banyak diantara para perantau “urang awak” yang “merahasiakan” identitasnya, mengurangi aktivittas primordialistik dan bahkanmelakukan kegiatan “senyap”.
Setelah beberapa hari tinggal di Banda Aceh, saya mulai mencium bau tidak sedap tentang urang awak di Aceh. Saat itu satu-satunya kegiatan sosial yang masih hidup adalah “arisan” Ikatan Keluarga Tanah Datar/IKTD. Urang awak dari berbagaikota/kabupaten yang masih memiliki militansi “ke-minangannya” kegiatan sosaialnya bergabung dengan IKTD. Saat itu yang bergabung dalam kegiatan arisan IKTD adalah dari Bukittingi, 50 Kota, Padang, Pesisir Selatan, dan Pariaman. Walau saat itu saya pendatang baru dari Palembang, namun saya berusaha untuk aktif dalam kegiatan arisan IKTD dan IKM Banda Aceh.