Erupsi Gunung Marapi menjadi catatan penting dalam aktivitas wisata (pendakian gunung) di Sumatera Barat tempo doeloe. Sehubungan dengan itu ada banyak informasi tentang erupsi Gunung Marapi saat itu. Ada informasi mengenai kapan terjadinya erupsi, gejala atau tanda-tanda erupsi gunung, dan apa yang harus dilakukan wisatawan pendaki gunung bila erupsi terjadi,
Semua informasi ini disampaikan melalui banyak media, dua diantaranya melalui buku panduan wisata dantravelogues.
Seperti yang ditulis oleh L.C. Westenenk dalam bukuyaAcht Dagen in de Padangsche Bovenlanden, pada saat bukunya itu ditulis dan terbit (tahun 1908), Gunung Marapi baru saja meletus. Dikatakan Gunung Marapi saat itu meletus sejak bulan Juli hingga September dengan skala letusan yang beragam.
Perhatian terhadap dan informasi mengenai erupsi Gunung Marapi bahkan telah muncul beberapa tahun sebelum Westenenk menulis bukunya. Perhatian dan informasi itu disajikan oleh J.F. van Bemmelen dan G.B. Hooyer dalam buku merekaReisgids voor Nederlandsch Indie(1902). Mereka mengatakan bahwa sejak tahun 1870 (letusan besar terakhir), Gunung Marapi relatif tenang. Kondisi ini memungkinkan para wisatawan pendaki gunung hingga ke puncaknya.
Westenenk dan Bemmelen serta Alfred Maas, seorang pelancong Jerman (untuk menyebut tiga nama) juga mengatakan bahwa Gunung Marapi senantiasa aktif sepanjang waktu. Maksudnya (kawah) gunung itu sering bergemuruh dan menggeram keras serta mengeluarkan asap.
Sehubungan dengan aktif dan seringnya Gunung Marapi erupsi, maka informasi lain yang disajikan untuk para pendaki adalah: Pertama, agar para pendaki mencari informasi terlebih dahulu dari pihak yang berwenang sebelum melakukan pendakian; kedua, jika gunung bergemuruh dan menggeram keras (seperti ada kereta api melintas), dan terdengar saat pendakian dilakukan, maka sangat disarankan agar pendaki tidak melanjutkan pendakian; Ketiga, para pendaki harus senantiasa berhati-hati, sebab erupsi bisa saja terjadi tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu; Keempat, para pendaki diwajibkan melapor terlebih dahulu kepada Kepala Laras Sungai Puar, setidaknya satu hari sebelum pendakian dilakukan. Ini bisa dilakukan melalui perwakilan, dan ini diperlukan untuk mengatur persiapan yang diperlukan selama pendakian. Seperti menyediakan pemandu, pekerja pembawa barang, tempat menginap malam (Pesanggrahan), persediaan makanan, dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya ada juga wisatawan pendaki gunung yang tidak melapor kepada Kepala Laras Sungai Puar dan langsung mendaki (dari Koto Baru).Wisata mendaki gunung bisa dilakukan oleh wisatawan lelaki dan perempuan. Westenenk dan sejumlah pejabat pemerintahAfdeeling Agammisalnya membawa para istri mereka saat mendaki Gunung Marapi.
Pendaki gunung umumnya wisatawan asing. Di samping orang Belanda juga ada orang Jerman, Inggris, Amerika, Perancis dan lain sebagainya.
Perjalanan pendakian umumnya diawali dari Fort de Kock menuju Koto Baru dengan kereta api. Bagi wisatawan yang meminta jasa Kepala Laras Sungai Puar, maka dari Koto Baru mereka menuju rumah sangAngku Larehterlebih dahulu.
Baik wisatawan ‘Tuanku Lareh’ atau wisatawan ‘mandiri’ biasanya memulai pendakian sekitar pukul 3 sore. Ketika senja tiba para pendaki akan sampai di ‘Pesanggrahan’, yang dulu dinamakan ‘Pagolek’an’ pada ketinggian sekitar 1.500 meter dpl. Di sini para pendaki dan rombongan bermalam dan istirahat (tidur). Nama Pagolek’an didugaberasal dari kata ‘bagolek’dalam bahasa Minangkabau yang berarti tidur.