Menarik Pajak Kepada Rakyat, Benarkah Kebijakan Ini!?

Foto Defiyan Cori
×

Menarik Pajak Kepada Rakyat, Benarkah Kebijakan Ini!?

Bagikan opini
Ilustrasi Menarik Pajak Kepada Rakyat, Benarkah Kebijakan Ini!?

Tidak sempurna memang persiapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, serta serba mendadak. Tapi, paling tidak para almarhum pendiri bangsa (founding father) telah mempersiapkan dan saling berdiskusi terkait yang paling mendasar, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai kesepakatan dan rujukan bersama (common denominator dalam menatakelolakan bangsa dan negara sesuai akar budaya yang tumbuh berkembang ditengah masyarakat seantero nusantara. Termasuk, munculnya Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan dalam menyusun tata kelola perekonomian nasional yangmana ayat 1 jelas menyatakan sebagai USAHA BERSAMA berdasar atas AZAS KEKELUARGAAN.

Namun, ditengah upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara dari sumber pajak yang tanpa tedeng aling-aling, maka perlu dipertanyakan ketepatan dan keberadaban kebijakan perpajakan ini diberlakukan oleh pemerintah? Benarkah istilah pajak dan kebijakan yang menyertainya sesuai dengan akar sejarah berbangsa dan bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau hanya duplikasi dari kebijakan sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme yang dulu diterapkan oleh negara-negara Eropa, khususnya kolonialis Belanda di tanah air Indonesia? Jelaslah, sebagai negara merdeka yang berdaulat mengkritik penggunaan istilah pajak dalam sistem ekonomi Indonesia modern saat ini. Sebab, penggunaan dan pengertian istilah pajak terminologinya lebih mengacu pada negara kolonialisme atas negara jajahannya atau kaum feodal atas rakyatnya.

Taxation is colonialism Term not an Independence Nation-State Term. Dalam konteks negara-bangsa yang merebut kemerdekaan terminologi ini seharusnya terminologi pajak sudah tidak digunakan lagi. Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan dari sistem ekonomi konstitusi, maka pengertian usaha bersama dalam menyusun ekonomi tidaklah tepat menggunakan istilah pajak. Kebersamaan dalam membangun perekonomian bangsa dan negara lebih tepat menggunakan pengertian iuran pembangunan. Pengenaan pajak apalagi sampai menguber-uber subyek dan obyek pajak tidak saja telah menempatkan pemerintah bagai kolonialisme, namun lebih dari itu sangat tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam melakukan pembangunan di seluruh negeri.

Usulan perubahan istilah inipun telah kami sampaikan dulu kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sewaktu diundang menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) terkait permasalahan capaian kinerja pajak pada tahun 2016. Pajak atau Tax itu tidak sesuai dengan perintah konstitusi Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang lebih mengedepankan prinsip partisipasi bukan pemaksaan. Bayangkan mobilisasi dana yang bisa diraih dengan perubahan istilah pajak ini yang konsisten merujuk konstitusi dengan semangat azas kekeluargaan yang luhur. Sudah bisa dipastikan partisipasi warga negara akan terbentuk lebih massif, cepat dan ada rasa memiliki serta akan malu jika ada yang tidak turut serta membayar iuran pembangunan tapi menikmati manfaat hasil-hasilnya. Bahkan, pemupukan dana masyarakat akan lebih berganda apabila iuran pembangunan diintegrasikan dengan zakat sebagai kewajiban penganut agama Islam dan istilan berbeda yang juga berlaku dalam agama resmi lainnya di Indonesia, sungguh suatu kekuatan permodalan (capital) yang lebih bernilai lahir dan batin.

Oleh karena itu, kearah inilah perbaikan kebijakan ekonom atau penatakelolaan penerimaan negara dijalankan sesuai dasar negara Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Dampak pengganda (multiplier effect) penerimaan negara ini akan semakin tinggi jika pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perolehan laba dan dividennya diatur secara integratif juga dengan menghapuskan kewajiban pajaknya. Sasaran penerimaan negara selama ini berasal dari pajak yang hanya mampu menarik kurang lebih Rp2.000 triliun saja tidak akan tercapai apalagi adanya kongkalikong antara pembayar dan pemungut pajak. Hanya dengan kebijakan integrasi iuran pembangunan, zakat (atau istilah lain) serta pembagian laba atau dividen BUMN-lah optimalisasi penerimaan negara akan mencapai Rp3.000 triliun lebih.

Pajak jelas terminologi kebijakan yang sudah usang, intimidatif dan primitif serta lebih tepat diterapkan kepada orang asing atau barang terlarang dan berbahaya! Tidaklah tepat diterapkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didirikan atas dasar semangat perjuangan kemerdekaan, senasib sepenangungan warga bangsanya bukan malah menjadi obyek sebagaimana halnya yang diterapkan oleh kolonialisme Belanda. Segala ketentuan mengenai hak dan kewajiban rakyat dari negara proklamasi inilah yang semestinya diberlakukan oleh pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka melalui revisi UU Perpajakan menjadi UU Iuran Pembangunan Nasional yang lebih membangun partisipasi publik.(*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini