Sungkai Green Park, Upaya Menyulap Rimba Menjadi Ekowisata

Foto Melda Riani
×

Sungkai Green Park, Upaya Menyulap Rimba Menjadi Ekowisata

Bagikan opini
Ilustrasi Sungkai Green Park, Upaya Menyulap Rimba Menjadi Ekowisata

Jalan tanah dan berkerikil menuntun rombongan dari mahasiswa dan dosen pasca sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas Padang ke sebuah desa yang tenang, tersembunyi di balik bukit barisan dan hiruk pikuk kota, Rabu (26/6). Derap pembangunan terasa agak lambat di sini meski jaraknya hanya beberapa kilometer dari kampus Universitas Andalas dan tentu saja masih di wilayah Kota Padang. Beruntung hari tidak hujan sehingga jalan tidak terlalu becek. Namun, ada beberapa titik yang lumayan susah ditempuh kendaraan roda empat.

Sungkai, nama daerahnya. Diambil dari nama pohon sungkai yang daunnya dikenal luas saat pandemi Covid-19 karena dipercaya dapat menyembuhkan penderita yang terjangkit virus tersebut. Sayang, pohon sungkai yang merupakan tanaman endemik daerah itu sempat nyaris punah karena diambil kayunya. Kini, dengan program donasi pohon dari akademisi Unand dan pihak lainnya, ribuan pohon sungkai kembali ditanam sebagai kebanggaan daerah.

Hampir di ujung jalan Desa Sungkai Kelurahan Lambuang Bukik Kecamatan Pauh itulah, berdiri sebuah destinasi wisata lokal bernama Sungkai Ekowisata Green Park (ESGP) yang dibina oleh sejumlah akademisi Unand dan dikelola oleh anak nagari, Rimbra Syaiful, tepatnya berada di RT 03/2 Sungkai. Mengusung konsep 'Green, Humane dan Smart Farming', sejumlah akademisi Unand yang menginisiasi, terutama Prof Helmi (alm), berkeinginan agar tempat itu bisa diberdayakan dan memberi manfaat untuk anak nagari. Suatu inisiasi yang juga sebuah keprihatinan karena daerah yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari jembatan Gunuang Nago, Kecamatan Pauh, Kota Padang dan sekitar 3,5 kilometer dari jembatan Kuranji – Pasar Baru, ternyata masih jauh tertinggal. Saat tim Unand masuk tahun 2015, daerah itu belum tersentuh listrik dan akses jalan hanya berupa jalan setapak yang tidak bisa dilewati mobil. Pada tahun yang sama, masyarakat di daerah lain umumnya sudah menikmati mulusnya jalan raya dan bisa menikmati berbagai peralatan listrik di rumah tangga.

Salah seorang inisiator, Ferdhinal Asful kepada mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unand yang melakukan kunjungan lapangan ke tempat itu, Rabu (26/6) mengatakan, banyak tantangan yang dihadapi saat awal-awal didirikannya lokasi ekowisata itu. Terutama dalam menghadapi masyarakat yang sempat menyatakan penolakan. Proses awal yang dilakukan saat itu adalah mempersiapkan secara sosial dan membangun kepercayaan pada masyarakat. Setelah itu, baru dilakukan pengembangan. Kegiatan pada mulanya dilakukan secara swadaya dan mengajak orang-orang untuk berdonasi pohon.

Baca juga: Jalan yang Buruk

Sejak mulai dirintis pada November 2020, sudah banyak kemajuan di lokasi itu. ESGP kini sering dipakai oleh masyarakat, mulai dari anak TK hingga lansia sebagai tempat belajar, tempat pelatihan, magang maupun penelitian mahasiswa. Ke depan, sesuai roadmap yang dibuat di awal, menurut Ferdhinal, seharusnya ESGP pada tahun 2025, tidak lagi hanya sekadar wisata yang menjadi sosial pendidikan, tapi sudah mengarah ke bisnis sosial.

Kita mendorong tempat ini bisa menjadi semacam koperasi kaum, apakah akan dibuat cv atau lainnya,” ujarnya.

Inisiator lainnya yang hadir, Zaini, PhD, menambahkan, ide smart farming yang dilakukan di ESGP dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan alam. Dalam setiap kegiatan pertanian yang dilakukan, diupayakan nol emisi karbon atau net zero emissions. Zaini ikut melibatkan mahasiswa-mahasiswanya untuk mengembangkan ide-ide tersebut.

Menjaga Ekosistem

Pengelola Ekowisata Sungkai Green Park, Rimbra Syaiful (49) memaparkan, tidak mudah untuk membangun ekowisata tersebut. Sejak tahun 2008 tinggal di Sungkai, ia memulai dari kondisi dimana infrastuktur jalan dan listrik yang belum ada. Ia kemudian dipercaya oleh niniak mamak kaumnya (mamak kepala waris) untuk mengelola lahan yang masih berupa rimba seluas 4 hektare dari 49 hektare lahan kaum seluruhnya. Ia memulai dengan semangat positif dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki potensi luar biasa.

Hebatnya, Rimbra tidak punya keilmuan dan latar belakang petani. Ia dulunya seorang desainer eksterior taman. Ayahnya pun dari latar belakang seniman. Tapi, berkat kemauan keras dan keinginan kuat untuk terus belajar, ia mulai mengolah dan memanfaatkan lahan di sana. Pada awalnya, ayah tiga anak itu mencoba membangun kepedulian lingkungan seperti dengan mengajak warga membersihkan sampah dan rumput di jalan. Dengan bantuan PNPM Mandiri, daerah itu mendapatkan dana untuk pembangunan jalan senilai Rp19 juta. Dengan dana itu dan dilakukan secara swadaya, akhirnya jalan sepanjang 2 kilometer dan lebar 3 meter selesai dibangun dengan rabat beton pada tahun 2014. Jalan itulah yang sekarang dilewati meski sudah banyak pula yang rusak parah hingga sebagian besar menyisakan tanah dan kerikil.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini