Meningkatnya kebutuhan akan bahan bakar minyak menyebabkan meningkatnya aktivitas eksplorasi minyak bumi. Aktivitas eksplorasi dan pengilangan minyak bumi berpotensi menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oil sludge) yang mengandung komponen hidrokarbon beracun dan logam berat dengan toksisitas tinggi. Hidrokarbon merupakan salah satu jenis polutan yang sulit untuk diuraikan. Hal ini mengakibatkan terganggunya ekosistem dan memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas kesehatan lingkungan. Melalui proses biologis dan kimiawi, lingkungan secara alami memiliki kemampuan untuk menghancurkan senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya. Namun, sering kali beban pencemaran di lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara alami. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur tangan manusia dengan teknologi yang ada untuk mengatasi pencemaran tersebut (Nugroho, 2006).
Bioremediasi merupakan solusi alami untuk pencemaran lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme. Teknologi bioremediasi merupakan solusi yang efektif, relatif murah , ramah lingkungan dan memiliki efek positif untuk jangka panjang. Bioremediasi dilakukan dengan mencampurkan lumpur minyak dengan tanah bertujuan untuk memperbaiki porositas dari limbah agar pertukaran oksigen menjadi optimal. Dengan suplai oksigen yang baik memungkinkan aktivitas mikroba dapat bekerja secara optimal dalam mendegradasi pencemar. Ada beberapa hal penting yang sangat mempengaruhi keberhasilan dari teknik bioremediasi, diantaranya adalah ketersediaan nutrien dan kondisi lingkungan seperti pH (Juliani dan Rahman, 2011). Teknologi proses bioremediasi dipilih karena cukup potensial untuk diterapkan di Indonesia. Kondisi iklim tropis dengan sinar matahari, kelembaban yang tinggi serta keanekaragaman mikroorganisme yang tinggi sangat mendukung percepatan proses pertumbuhan mikroba untuk aktif mendegradasi minyak (Hafiluddin, 2011).
Mekanisme kerja bioremediasi adalah mikroorganisme memproduksi enzim tertentu yang spesifik sebagai respon atas ancaman predator dari polutan, dimana enzim yang diproduksi tersebut berfungsi untuk memodifikasi polutan atau kontaminan beracun dengan teknik mengubah komposisi, struktur, daya toksik dan konsentrasi kimia polutan. Beberapa bakteri hidrokarbonoklastik yang telah diketahui mampu mendegradasi komponen hidrokarbon adalah Pseudomonas , Arthrobacter, Alcaligenes, Brevibacterium, Brevibacillus, dan Bacillus. Bakteri-bakteri tersebut banyak tersebar di alam, termasuk dalam perairan, biasanya bersimbiosis dengan biota laut tertentu seperti spons, moluska atau juga dapat diisolasi dari air laut dan sedimen yang tercemar oleh minyak bumi atau hidrokarbon. Ada tiga faktor utama yang menentukan laju dan mekanisme biodegradasi hidrokarbon oleh komponen mikroorganisme, yaitu: 1) jenis komponen hidrokarbon sebagai substrat, termasuk jenis, konsentrasi dan toksisitas, 2) jenis degradasi mikroorganisme, termasuk jenis, jumlah koloni, nutrisi, waktu, dan kemampuan beradaptasi mikroorganisme pendegradasi, 3) lingkungan, terdiri dari suhu, pH, tekanan, suplai oksigen, salinitas dan ketersediaan nutrien yang dibutuhkan ( Marzuki, 2019).
Berdasarkan lokasinya Metode ini terbagi menjadi dua kategori utama yaitu in situ dan eksitu. Bioremediasi in situ adalah proses yang dilakukan langsung di lokasi yang terkontaminasi tanpa memindahkan material yang tercemar. Metode ini sering digunakan untuk mengatasi kontaminasi tanah atau air tanah dan melibatkan teknik seperti bioventing, biosparging, dan biostimulasi. Bioremediasi in situ lebih murah dan menyebabkan gangguan minimal pada lokasi yang tercemar, tetapi mungkin kurang efektif untuk area dengan tingkat kontaminasi yang sangat tinggi atau jenis polutan tertentu. Sebaliknya, bioremediasi eksitu melibatkan pengangkutan material yang tercemar ke lokasi lain untuk diolah. Teknik eksitu mencakup biopile, windrow, dan composting untuk tanah tercemar, serta penggunaan bioreaktor untuk air atau lumpur tercemar. Meskipun metode eksitu biasanya lebih mahal dan membutuhkan peralatan serta infrastruktur tambahan, mereka dapat memberikan kontrol yang lebih baik atas kondisi proses bioremediasi dan seringkali lebih efektif dalam mengatasi tingkat kontaminasi yang tinggi atau jenis polutan yang lebih kompleks. Pilihan antara bioremediasi in situ dan ex situ bergantung pada faktor-faktor seperti jenis dan tingkat kontaminasi, lokasi, serta prinsip ekonomis seperti biaya dan waktu.Salah satu pencemaran laut yang mendapat perhatian nasional adalah pencemaran minyak yang terjadi di wilayah Teluk Kota Balikpapan. Kasus pencemaran minyak tersebut terjadi pada 31 Maret 2018, kebocoran minyak terjadi diduga akibat patahnya pipa penyalur minyak mentah dari Terminal Lawe-Lawe di Penajam Paser Utara ke Kilang Balikpapan. Pipa milik PT. Pertamina tersebut putus dan bergeser sekitar 120 meter dari posisi awal nya. Adapun pipa tersebut patah disebabkan oleh jangkar Kapal MV Ever Judger milik perusahaan Power Metal Investment. Selanjutnya, pada pukul 06.00 WITA tim melakukan penyisiran di perairan Pertamina terkait dengan tumpahan minyak tersebut, dimulai dari pelabuhan Chevron, pelabuhan Semayang sampai Kampung Atas Air Baru Ilir, Balikpapan Barat. Sekitar pukul 10.00 WITA, melintas kapal kargo batubara, dan memicu terbakarnya tumpahan minyak serta membakar sebuah kapal nelayan dan kapal kargo itu sendiri (Kurnia dkk, 2023). Tentunya tumpahan minyak ini berdampak terhadap lingkungan di wilayah Balikpapan , mulai dari menyebabkan kerusakan ekosistem bahkan mengganggu aktivitas masyarakat. Upaya bioremediasi dilakukan menggunakan bakteri pemakan minyak, seperti Pseudomonas dan Alcanivorax. Proses ini membantu menguraikan minyak mentah yang mencemari perairan, mempercepat pemulihan lingkungan laut dan pesisir.
Bioremediasi memberikan berbagai dampak positif yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat. Salah satu dampak utamanya adalah pemulihan ekosistem yang rusak dan peningkatan kualitas lingkungan. Dengan menggunakan mikroorganisme atau tanaman untuk menguraikan polutan, bioremediasi membantu memulihkan tanah, air, dan udara yang tercemar, sehingga flora dan fauna dapat kembali tumbuh dan berkembang. Proses ini juga mengurangi risiko kesehatan bagi manusia yang tinggal di sekitar area tercemar, karena polutan berbahaya dihilangkan atau dinetralkan. Selain manfaat lingkungan, bioremediasi juga menawarkan potensi manfaat ekonomi yang besar. Biaya pembersihan menggunakan metode bioremediasi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan teknik pembersihan konvensional yang sering memerlukan penggunaan bahan kimia atau alat berat yang mahal. Hal ini membuat bioremediasi menjadi solusi yang lebih ekonomis dan berkelanjutan. Selain itu, setelah lahan tercemar dibersihkan, nilai lahan tersebut dapat meningkat, membuka peluang untuk penggunaan kembali lahan tersebut untuk tujuan pertanian, perumahan, atau komersial. Dengan demikian, bioremediasi tidak hanya berkontribusi pada pelestarian lingkungan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pemerintah memainkan peran penting dalam mendukung penggunaan bioremediasi sebagai solusi untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, berbagai regulasi telah diterapkan untuk mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan seperti bioremediasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi bahwa: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk: (a) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; (b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; (c) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; (d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; (e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.” (Kurnia dkk, 2023).
Dalam rangka mencapai lingkungan yang lebih bersih dan sehat, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bioremediasi dan peran mereka dalam menjaga lingkungan. Melalui program edukasi dan pelatihan yang terarah, baik untuk masyarakat umum maupun industri, kita dapat memberdayakan setiap individu untuk berkontribusi secara aktif dalam memulihkan ekosistem yang rusak. Mari kita bersama-sama mengambil langkah nyata untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan ini, demi masa depan yang lebih hijau dan lestari. Jadilah bagian dari perubahan positif ini dan dukung upaya bioremediasi di sekitar kita!