Nyaris tak ada meja kosong. Kopi O dengan cangkir warna coklat tua menemani. Mendengung bagai lebah. Ini Kamis 1 Agustus 2024, pagi jernih, langit terasa tinggi, padahal begitu-begitu saja sejak dulu.
Kafe ini penuh walau baru pukul 7.45 pagi. Tamu banyak gaya, berbaju hitam, celana hitam berkacamata hitam, tas tangan kecil menyertai. Ada alat pelantang suara di telinga. Ada dua hapenya. Satu meja berlebih satu kursi duduk karyawan sebuah bank. Berbaju warna lain semua jenggo-jenggo.
Macam-macam. Mungkin ini adalah titik kumpul bagi banyak orang yang: bisnis belum kelar, PO lambat keluar, fee tak kunjung cair, tanah tak terjual-jual juga. Mungkin pula, ada lokak baru, tapi harus dapat izin pemerintah dulu. Dugaan saya saja.
Di meja sebelah saya dua perempuan berbahasa Mandarin. Mereka dari seberang, Singapura. Inilah kafe seramai pasar.
Inilah Morning Bake yang di Batam disebut Monbak. Ada di banyak titik di pulau ini, juga di Tanjung Pinang. Menunya kopi O dan kopi-kopi lain.
“Mau dicangkir atau gelas, Pak?”“Gelas.”
Segelas kopi dengan cangkir tebal di atas tandah. Gelas berada di atas tadah itu, terletak berat sebelah. Meja kayu dengan kursi-kursi kayu. Tiang-tiang kafe sebesar tiang masjid. Di depan terbuka lebar demikian juga di semua sisi. Angin masuk membuat suasana adem. Dalam keadaan seperti itulah kopi, roti dan bubur serta apa yang tersedia dinikmati: lontang padang.
Ini memang gaya kita-kita bayar di meja, Rp8000 segelas. Semua menu tinggal pilih, tunggu saja di meja, kecuali roti, Anda bawa sendiri. Kalau agak jenggo gayamu, bisa minta antar.
Kafe ini penuh. Yang pergi, berangkatlah, segera terisi lagi. Terdengar tawa berderai, terkekeh. Ada yang cepat pergi ada yang seperti di rumahnya saja. Sudah berjam-jam tak beranjak. Saya dan kawan- kawan, misalnya.