Jam 02, dini hari, Jum'at, 3 Januari 2020. Suhu Bandara Internasional Baghdad dingin menusuk tulang. Sebuah pesawat mendarat. Seorang lelaki berusia 60-an keluar bersama pengawalnya. Menaiki jeep, rombongan ini bergerak menuju kota.
Tak lama berselang. Sebuah cahaya menerjang. Disusul ledakan mengguncang, menghancurkan. Rombongan mati saat itu juga. Tertembak rudal pintar (_missile guidance_) dari pesawat tanpa awak milik Amerika. Dia adalah Qasem Suleimani bersama pengawalnya.
Iran berduka, rakyat marah. Ribuan orang turun ke jalan, berteriak;"Marg bar Amrika, marg bar Israel." Matilah Amerika, matilah Israel. Republik islam ini mengancam dengan pembalasan mematikan. Timur Tengah tegang. Palestina, Suriah, Lebanon, Irak, dan rakyat di kawasan Bulan Sabit Subur berkabung dan berdoa untuk Si Pahlawan Perang.
Suleimani adalah komandan Pasukan Quds, sayap Garda Revolusi. Pasukan Quds adalah divisi yang beroperasi di luar teritorial Iran. Pasukan Quds berperang membantu Palestina, Lebanon, Suriah dalam menghadapi Amerika dan israel. Dia juga berperan penting dalam penghancuran ISIS, kelompok teroris yang sempat mencabik cabik Suriah dan Irak. Kini ISIS tak lagi eksis.
Suleimani bagi rakyat di Kawasan dan dunia Islam bak legenda. Seorang jendral berwajah lembut, jarang ke permukaan dan irit bicara. Dia tersohor sebagai jagoan perang yang lama diburu Israel dan Amerika. Dia dijuluki _The Shadow Commander_, Jendral Hantu, Jendral Haj Qasem. Dia perwira paling berpengaruh di Timur Tengah dekade belakangan. Dia juga disebut Erwin Rommel Timur Tengah. Rommel adalah Jendral Jerman yang dijuluki Si Rubah Padang Pasir.
Terbunuhnya Suleimani adalah tragedi kelam bagi Iran. Menyakitkan dan memalukan. Begitu mudahnya perwira kebanggaan dihabisi. Disusul kemudian terbunuhnya Mohsen Fakhrizaden, 27 November tahun yang sama. Fakhrizadeh adalah ahli nuklir yang juga perwira Garda Revolusi. Dengan kematian Fakhrizadeh, sudah lima ahli nuklir Iran terbunuh.
Pukulan telak pada citra diri militer Iran yang impresif di Kawasan terus berulang. Rabu dini hari 31 Juli lalu, Ismail Haniyeh, kepala biro politik Hammas terbunuh di penginapannya di wisma veteran perang di kawasan elite Teheran. Hidup Haniyeh berakhir dihantam rudal pintar yang tak disebut asalnya. Namun Harian _New York Times_ menyebut, hidup Haniyeh berakhir oleh bom yang ditanam di wisma dua bulan sebelumnya.Apa pun penyebab kematian Haniyeh, pastilah dilakukan oleh musuh Palestina dan Iran. Terduga kuat tentu Israel melalui operasi intelijen Mossad. Peristiwa ini makin menekan mental dan wibawa politik Iran. Tak hanya dipandang mendegradasi kekuatan Iran tapi tentu juga rasa sakit yang ditimbulkan karena korban adalah tamu kehormatan yang diundang pada acara resmi pelantikan Presiden baru Iran Masoud Pezeskhian. Walau berlebihan, muncul interpretasi asalan; Ayatullah Ali Khamenei selalu melihat ke atas saat mengimami shalat jenazah Haniyeh. Khawatir akan hantaman rudal pintar.
Walau Iran tetap dipandang sebagai negara kuat secara politik dan militer di Kawasan, tapi tentulah belum sampai pada titik kedigdayaan yang mampu menyetarai Amerika dan Israel dari sisi pertahanan; militer dan intelijen. Iran sekarang bukanlah Persia adi daya di zaman Nebuchadnezzar atau Cyrus Yang Agung yang menguasai lebih sepertiga dunia pada masanya.
Iran hari ini adalah hasil revolusi Islam tahun 1979. Iran berjuang bangkit membangun kekuatan. Bangsa Persia ini kembali muncul sebagai aktor penting di kawasan. Mereka mulai kuat secara politik, militer, ilmu pengetahuan, sains, teknologi dan kebudayaan. Namun tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Iran menjadi musuh Amerika dan Barat.