Kata boikot yang dijadikan judul tulisan ini diangkat dari (Headline, Harian Padek, 06 Agustus 2024) sebagai bentuk respon masyarakat Candung Koto Laweh terhadap kasus pelecehan yang terjadi di Madrasah tua di daerah ini. Sedangkan reset maksudnya adalah menata ulang manajemen, kepemimpinan dan hubungan Madrasah dengan dunia Pendidikan Tinggi Islam yang jumlahnya di Sumatera Barat lebih dari cukup.
Akhir Juli 2024 ini jagad media maindstrem lebih lagi media sosial dipenuhi berita, ulasan, komentar dan postingan yang memiriskan hati dan mencemaskan orang tua siswa, santri dan pegiat pendidikan dengan terjadinya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan Islam menengah dan di kampus Perguruan Tinggi Islam yang selama ini menjadi pagar Islam, budaya dan peradaban bangsa.
Dunia terbalik, kerusakan begitu massif dan banyak ungkapan negatif dari nitizen, bahkan ada informasi bahwa orang tua santri menarik anaknya yang sudah belajar di Pondok Pesantren. Mereka yang phobia Islam dan tidak pro pendidikan Islam mengambil kesempatan dari musibah ini dengan mengulas, dan memprovokasi melampaui dari kejadian sebenarnya, yang akibat tak langsungnya meruntuhkan martabat Pesantren dan kampus yang memang menjadi target oleh musuh-musuh Islam.
Sangat membuat hati gusar, ketika masyarakat lingkungan tidak memberikan dukungan penyelesaian ketika Madrasah terpuruk wibawanya, alasan hanya memboikot Yayasan, namun media menyiarkan memboikot MTI. Madrasah yang jasa besarnya sudah mencerdaskan ribuan anak bangsa dan punya jejak sejarah panjang, menjadi tercoreng kehormatannya, disebabkan prilaku segelintir gurunya, satu kerbau berkubang semua kena lumpurnya, begitu kata pepatah.
Akal sehat dan hati jernih menjadi tumpul mencermati ulah pegiat media, tak terkecuali media mainstrem surat kabar dan Televisi, yang rendah sekali seleksi berita yang akan dimuat. Bahkan ada yang mengangkat berita, opini dan pendapat yang hanya sebatas katanya, asumsi dan tuduhan yang tak jelas sumber. Kasihan pula narasumber yang hanya bicara berdasarkan informasi medsos yang tak jelas sumbernya. Pilihan berita tidak lagi didasarkan pada akal sehat dan akibat lanjutan yang akan terjadi.
Tidak pula berlebihan, dan dapat diterima hukum sosial bila komunikasi jika sudah beredar di ruang publik, siapapun dapat memahami dan menanggapinya sesuai sudut pandang mereka. Lebih lagi era postrusth yang dihembuskan medsos, melalui jargon kata viral dan framing menjadi konsumsi semua pihak, maka ekses tak terduga pasti terjadi, tugas pihak yang sedang menderita sosial dan kejiwaan untuk memperkuat ketahanan diri dan institusi (resilensi) dengan menjalankan aturan hukum, moral dan sanksi tegas sebagaimana mestinya.Ruang sosial yang terbuka lebar, kelatahan jari jemari pegiat medsos seringkali lebih cepat dari proses berfikir sehat dan benar, maka postingan, komentar dan share tanpa care telah menjadi racun berbisa yang korbannya dapat mengena siapapun. Faktanya
dapat dibaca judul besar postingan di group whatshaap yang bombastis, dan tidak jarang sudah menjatuhkan vonis sebelum dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh institusi dan penegak hukum sesuai aturan hukum.
TIDAK SEKEDAR PENDEKATAN HUKUM
Realitas sosial yang menjungkirbalikan norma, nilai, aturan dan kepatutan adalah tantangan yang tengah masyarakat era digital. Cendikiawan yang bertindak bodoh, pegiat pendidikan Islam yang tak amalkan aturan dan etik Islam, guru agama yang amoral, ahli hukum yang menjadi pelanggar hukum dan sederetan lainnya adalah keadaan yang sulit untuk dijawab, kadang kala sulit di nalar akal cerdas, tak habis pikir mengapa ini terjadi, namun kini itu menjadi nyata.