(Sebuah Usulan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029)
Berbagai opini, isu bahkan sesuatu yang mesti diterima (fait accompli) oleh Presiden terpilih terkait struktur organisasi pemerintahan sedang hiruk pikuknya. Yang lebih dominan mengemuka, adalah persoalan personalia kabinet Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka beserta jumlahnya. Tentu saja, terdapat motif dan kepentingan dari opini dan isu politik mengenai susunan anggota kabinet yang berseliweran ditengah publik melalui berbagai media sosial tersebut untuk mendesakkan maksud dan tujuannya. Meskipun, publik sangat paham bahwa usulan dan dukungan calon Presiden dan calon Wakil Presiden (capres-cawapres) berasal dari koalisi beberapa partai politik serta mengeluarkan ongkos yang sangat mahal.
Terhadap usulan dan dukungan politik kepada capres-cawapres itu, perlukah ada proses tawar-menawar dalam penyusunan personalia kabinet untuk kepentingan kader atau anggota partai politik? Tulisan ini mencoba untuk memberikan sedikit pandangan atas posisi dukungan politik model demokrasi "pasar" (selama 20 tahun) serta perintah konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang lainnya. Apapun itu, namum publik berharap dan meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto dapat menggunakan *hak prerogatif* nya secara penuh.
Hak Prerogatif Presiden Mutlak!
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memantapkan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 sebagai rujukan bersama (common denominator) sistem ketatanegaraan. Kepemimpinan negara berdasarkan UUD 1945 pasal 4 ayat 1, menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Ayat ini menunjukan makna peraturan yang substansial dan doktrinal bahwa Presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam sebuah negara. Atas dasar inilah, maka Presiden memiliki hak prerogatif atau hak istimewa yang dimiliki oleh kepala negara dan pemerintahan dijamin dan dilindungi secara penuh oleh konstitusi dan UU terkait.
Diantara hak prerogatif Presiden itu, adalah mengangkat dan memberhentikan menteri serta membentuk, mengubah dan membubarkan kementerian negara yang diatur di dalam undang-undang (Pasal 17 UUD 1945). Presiden juga berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Begitu jugalah halnya dengan cara apapun cara mengusung dan mendukung calon Presiden hingga terpilih, hak prerogatif tersebut tidak bisa diintervensi oleh kekuatan partai politik manapun, apalagi telah melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat! Kecuali, memang Presiden terpilih meminta pertimbangan kepada orang per orang, sekelompok orang dan atau para elite partai politik yang tak ada kaitannya sama sekali dengan proses transaksional.Artinya, posisi Presiden terpilih sangat kuat dan mandiri berdasarkan hak prerogatifnya untuk menyusun personalia kabinet, baik jumlah dan orangnya. Dalam hal jumlah personalia, maka UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara telah menetapkan angka maksimal pembentukannya, yaitu 34 kementerian (Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14). UU ini menyatakan secara tegas, bahwa Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Bahkan, sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 (pasca amandemen), ditegaskan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur berdasarkan pertimbangan ketentuan Undang-Undang tentang Kementerian Negara tersebut.
Pertimbangan jumlah maksimal 34 kementerian itu tentulah ditetapkan berdasarkan kajian awal yang mendalam (indepth research) dan pengalaman personalia kabinet pemerintahan terdahulu. Walaupun, Presiden memiliki hak penuh memaksimalkan jumlah kabinetnya, namun efektifitas jalannya pemerintahan harus menjadi perhatian serius (concern), termasuk keterbatasan anggaran negara agar penyelenggaraan pemerintahan juga efisien. Pengalaman menggunakan kementerian negara secara maksimal oleh dua (2) Presiden sebelumnya, yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo menjadi bukti diabaikannya soal efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam banyak kasus, terdapat permasalahan koordinasi dan komunikasi antar kementerian negara dan lembaga dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang tumpang tindih.
Tumpang tindih tupoksi itu sudah terjadi sejak menetapkan numenclateur, misal terkait urusan komunikasi pemerintahan yang sering tidak sinkron antara Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet Kepala Staf Presiden (KSP) dan yang dijalankan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Sering sekali komunikasi dan informasi yang disampaikan kementerian ini saling bertolak belakang dan membingungkan masyarakat atau publik. Selanjutnya, yaitu tumpang tindih kebijakan dan program diantara Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, dan Kementerian UKM dan Koperasi yang sering sekali tidak sinkron terkait kebijakan pembangunan industri sektoral berdasarkan jenis dan skalanya, termasuk soal kebijakan impor yang justru semakin meningkat!
Hal mana (dan lebih pelik) juga selalu berulang kali terjadi disetiap pergantian kepemimpinan, khususnya soal data tingkat kemiskinan dan pengangguran diantara Kementerian Perencanaan Pembangunan Negara dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Dalam konteks inilah, maka penggabungan beberapa kementerian negara menjadi keniscayaan dan mendesak dilakukan Presiden terpilih Prabowo Subianto, khusus dalam mendukung serta mensukseskan program unggulan seperti makan bergizi gratis.