Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Foto Afriadi
×

Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Bagikan opini
Ilustrasi Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Dalam 2 dekade terakhir, media massa di Indonesia sudah mengalami perubahan besar seiring dengan perkembangan teknologi dan juga media sosial. Media massa tradisional yang sebelumnya merupakan sumber informasi utama, kini harus bisa beradaptasi dengan media sosial yang semakin mendominasi sebagai ruang diskusi publik. Dalam perubahan inilah muncul pertanyaan tentang bagaimana media massa digunakan oleh kepentingan kaum tertentu dalam mendistribusikan informasi terkait dengan kepentingan politik, budaya dan ekonomi. Selain itu, gerakan postmodernisme yang menolak narasi tunggal juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap media karena sudah tidak dilihat lagi sebatas sumber informasi, melainkan sebagai alat untuk mengontrol opini publik terkait konteks politik dan ekonomi. Gerakan ini sesuai dengan tipe media sosial yang penyebaran informasinya sudah tidak terdesentralisasi ataupun dimonopoli oleh institusi – institusi media massa tradisional.

Transformasi Media Sosial: Dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Perkembangan media sosial sejak awal 2000-an telah mengubah peta penyebaran informasi secara drastis. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, hingga TikTok memungkinkan semua orang bisa membuat konten apapun yang diyakini sebagai suatu kebenaran informasi. Disini terlihat bagaimana telah terjadi pergeseran distribusi informasi yang sebelumnya terkonsentrasi pada suatu institusi media massa sekarang menjadi lebih desentralisasi.

Akan tetapi berbeda dengan media massa tradisional yang memiliki mekanisme kontrol yang ketat terhadap informasi yang disebarluaskan, media sosial lebih terbuka, sehingga informasi dapat mengalir tanpa banyak penyaringan. Sehingganya fenomena berita palsu (hoaks) di media sosial merupakan konsekuensi dari kebebasan penyebaran informasi yang tidak diiringi dengan kontrol kualitas dan akurasi.

Kebebasan media sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyebarluaskan propaganda dan disinformasi. Algoritma media sosial yang beroperasi berdasarkan popularitas konten juga memperkuat sasaran yang akan dituju. Konten yang paling banyak disukai dan dibagikan, terlepas dari keakuratan informasinya, mendapatkan perhatian yang lebih besar dan viral. Hal ini memungkinkan kelompok-kelompok tertentu untuk memanipulasi narasi dengan menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini publik secara masif dan cepat.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini