Ada 11 panelis yang ditunjuk KPU Sumbar untuk meracik bahan debat cagub Sumbar. Semua akademisi. Orang di luar itu, tak dipakai.
Menurut saya “kida tarompa KPU Sumbar,” sebab anggap enteng elemen seperti pers, budayawan dan ulama. Pers misalnya, memang kami- kami ini “engak raya?” Akademisi saja yang hebat di mata KPU?
Atau karena ini: “Kami tidak butuh wartawan, kami butuh influencer,” kata-kata ini dari salah seorang kepala daerah sesaat setelah dilantik 5 tahun silam.
Kita pemilik sah Sumbar. Yang akan dipilih gubernur kita, terlepas dari siapa calonnya. Suka, tidak suka. Tali timbo pendek atau sumbu pendek atau semua hebat-hebat. Bukan itu, melainkan, menurut saya KPU bersandar semata pada akademisi, adalah naif. Kecuali, memang ada aturannya bahwa yang jadi panelis hanya boleh akademisi.
Debat itu sendiri, hambar. Pertanyaan teoritis. Awang-awang. Galigaman saya. Tapi, bisanya sampai di sana. Saya kira KPU cari selamat, sebab kalau unsur pers masuk sebagai panelis, pertanyaannya akan berbeda sekali.
Bisa juga bukan karena itu, tapi tidak menganggap masyarakat budayawan, ulama dan pers tak berisi atau tidak perlu dalam konteks debat cagub. Atau saya saja yang lebai, manganggap pers itu penting, nyatanya tidak.Dalam asumsi saya memang KPU berusaha menghindar agar unsur pers yang cerewet tidak dimasukan menjadi panelis. Saya tahu dalam debat-debat yang telah berlalu baik 2024 atau lima tahun silam, wartawan menilai, pertanyaan datar, teoritis dan tidak operasional. Tapi, debatnya diserahkan pada pers.
KPU yang aneh ini, saya coba kontak ketua KPU dengan meneruskan pesan dari wartawan : “ Panelis untuk debat cagub ndak ado yg dr unsur pers.”
“Ampun Bang,” jawab Ketua KPU Surya Efitrimen, Rabu (13/11/2024). Selesai urusan. Itu jawaban tanpa penjelasan dan saya tak memintanya lagi.