Pemungutan suara di Pilkada (Pemilihan Kepada Daerah) di wilayah Sumatera Barat baru saja usai. Kendatipun belum ada hasil resmi, hasil hitung cepat telah menggambarkan siapa yang menang dan kalah. Biasanya, hasil hitung cepat tidak jauh berbeda dengan hasil resmi.
Beberapa calon mendapat didukung secara terbuka oleh figur-figur ulama tertentu. Selain itu ada pula yang memperoleh rekomendasi resmi dari organisasi keislaman. Hasil sementara ini menunjukkan bahwa dukungan dan rekomendasi tersebut tidak selalu menghasilkan kemenangan.
Dalam tulisan ini baik ulama maupun organisasi keislaman disebut dengan istilah ulama saja. Organisasi keislaman disebut demikian karena adanya kendali yang kuat dari unsur-unsur keulamaan.
Dukungan ulama dalam Pilkada di Sumatera Barat adalah isu yang sangat besar. Dalam masyarakat Muslim, ulama sangat penting secara teologis dan sosiologis. Secara teologis, ulama dipahami sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’). Artinya, pendapat-pendapat ulama adalah dalam rangka menjalankan fungsi kenabian dalam mendidik umat.
Dengan otoritas seperti itu, maka ia kemudian memperoleh posisi sosial penting di dalam tubuh umat Islam. Sejarah mencatat, bahwa gerakan-gerakan sosial besar di kalangan masyarakat Muslim sering dimotori oleh para ulama. Dalam masyarakat Minangkabau contohnya, ulama memiliki peran kunci dalam membebaskan masyarakat secara mental dan fisik dari penjajahan Belanda.
Sekarang, kekuatan teologis dan sosiologis tersebut dimanfaatkan oleh ulama dan para politis untuk kepentingan Pilkada di Sumatera Barat. Bagi ulama, ia berharap dukungan yang ia berikan akan diikuti oleh masyarakat. Sementara bagi politisi, dukungan terbuka ulama diniatkan sebagai salah satu alat pendulang suara pemilih.Bagaimana hasilnya?
Ternyata tidak semua calon yang didukung dan direkomendasikan ulama dapat menjadi pemenang. Lalu bagaimana kita memahami fenomena ini dalam konteks kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat?
Pertama, dukungan ulama adalah pertaruhan besar untuk ulama itu sendiri. Hasil Pilkada akan mengungkap seberapa besar otoritas dan pengaruh ulama terhadap masyarakat. Jika calon yang didukung tidak menang, maka orang akan menganggap bahwa ulama tidak didengar lagi oleh masyarakat, kendatipun kita tahu bahwa dukungan tersebut bukan faktor tunggal kemenangan.