Tulisan saya tanggal 28/11/24, mendapat respon dari mantan Gubernur Sumatera Barat sekaligus politisi senior lagi ulung, mantan legislator 2 periode dan salah satu anggota dewan syuro PKS. Diawal kalimat Pak Irwan mengatakan sudah lama tidak membaca berita dari Padang karena dunianya sudah berbeda dari sewaktu beliau jadi Gubernur. Senang sekali tulisan saya dibaca dan dibalas Pak Irwan. Misi saya tercapai. Saya ingin analisis saya dibaca dan menjadi pertimbangan bagi anggota Dewan Syuro sebagai pucuk pimpinan PKS, kalau bisa bertemu dan berdiskusi langsung agar mendapat pencerahan karena manufer politik yang ditunjukkan PKS paska pengumuman pilpres tidak menunjukkan nilai yang dianut PKS selama ini.
Tulisan sederhana yang saya buat beberapa jam setelah Quick Count dirilis ternyata mampu menarik perhatian Pak Irwan. Kenapa tulisan itu begitu cepat saya tulis karena saya telah melakukan survey kecil-kecilan di masyarakat dengan metode purposive sampling. Sampel saya mulai dari driver ojol sampai profesor yang kebetulan saya temui. Saya juga mengamati, membaca dan melihat peristiwa politik setelah pilpres dan mejelang pilkada kemudian menganalisisnya.
Hasil analisis saya kebetulan sama dengan hasil Quick Count. Dukungan politik pada cakada PKS di daerah yang tinggi literasi politiknya dan merupakan daerah kekuasaan PKS analisis saya akan turun. Karena konstituen PKS kecewa bergabungnya PKS ke dalam KIM. Faktor lain adalah dukungan PKS kepada Bobby Nasution menantu Jokowi yang telah saya tulis juga kemaren. Entah kenapa masyarakat Sumbar kurang selera pada Jokowi. Pilpres 2019 Jokowi hanya dipilih kurang lebih oleh 15%. Persentase yang paling kecil dibanding daerah lain. Walau saat itu 85% sisanya memilih Prabowo, ternyata pilpres 2024 pemilih Prabowo jauh berkurang menyisakan kurang lebih 30% saja. Penyebabnya bukan Prabowonya, tapi wakilnya yang sulit diterima masyarakat Minang yang patokannya memilih pemimpin adalah takah, tokoh dan tageh. Gibran dinilai jauh dari itu dan beliau anak Jokowi yang tidak populis di Sumbar.
Akibat drama putusan MK 90 menjelang pilpres memuluskan Gibran menjadi wapres maka pemerintah Prabowo-Gibran dianggap masyarakat lahir dari pelanggaran etik dan perpanjangan kekuasaan Jokowi di pemerintah. Walau malu-malu tapi mau dan sedikit terlambat akhirnya PKS mengakui bergabung dengan KIM dan mendukung pemerintah terpilih dengan imbalan satu menteri dan sharing kekuasaan di beberapa pilkada. Koalisi ini dasarnya adalah keputusan dewan syuro PKS pada bulan Agustus. Dewan syuro kemudian memberi mandat kepada DPTP PKS untuk menentukan calon kepala daerah. Artinya Keputusan dewan syuro adalah rangkaian hasil kebijakan pemberian rekomendasi kepada calon kepala daerah. Dari awal saya telah mengatakan tidak mungkin dewan syuro yang jumlahnya 99 melakukan kurasi terhadap lebih dari 400 cakada. Keputusan dan rekomendasi cakada adalah kewenangan yang diberikan dewan syuro kepada DPTP. Tapi beberapa kader PKS tetap mengatakan ini adalah keputusan dewan syuro yang mesti ditaati.
Itu baru tentang bergabungnya PKS dengan KIM. Penyebab lain yang membuat konstiteun tidak habis fikir adalah didukungnya Marchel di Tanggerang Selatan. Dukungan ini tidak dijelaskan Pak Irwan pada tulisannya. Bagaimana bisa PKS memberikan dukungan kepada seorang Nasrani sedangkan Tanggerang adalah gudangnya Ulama. Bukan hanya masalah keyakinan, Marchel memiliki rekam jejak yang tidak mendukungnya untuk menjadi pemimpin daerah. Di podcast Saiful Zaman, Indra Kusumah, presiden Gema Keadilan menceritakan. Koalisi yang terbangun di Banten adalah paket koalisi provinsi dan 8 kota/kabupaten. Koalisi blok Banten bersepakat bagi-bagi daerah kekuasaan. PKS kebagian calon wakil gubernur dan beberapa daerah lain. Partai lain akan mendapatkan bagian juga. Jadi daerahnya dan parpolnya dulu yang dibagi baru nanti ditentukan calonnya. Siapapun calonnya asal sesuai kesepakan, bungkus!. Jadi seperti membeli kucing dalam karung. Calonnya belum diketahui tapi daerah kekuasaanya sudah dibagi. Silahkan tonton di podcast Saiful Zaman yang mengundang narsum ketua Gema Keadian. Cara seperti ini bukan kebiasaan PKS yang sebelumnya sangat memperhatikan kapasitas cakada. Karena gejolak yang luas di masyarakat menolak Marchel termasuk dari kalangan artis, dan adanya perubahan aturan batas ambang syarat pengajuan akhirnya pencalonan Marchel batal. Saya jadi ingat dukungan partai Islam PPP pada Ahok pilkada DKI lampau. Bagaimana mungkin partai Islam mendukung seorang Nasrani di daerah mayoritas Muslim. Buntut dukungan itu PPP ditinggalkan masyarakat dan tak bisa mengantarkan wakilnya ke Senayan. Hal yang sama akan dilakukan PKS, sebuah langkah yang sangat mencabik logika karena hasrat kekuasaan.
Tidak sedikit yang heran, ini bukan kebiasaan PKS. Biasanya PKS melakukan penjaringan yang ketat dalam merekomendasikan calon kepala daerah. Tapi sekarang kenapa jadi “mleot” seperti ini. Masyarakat memotret suguhan akrobat politik ini, termasuk gagalnya pencalon Anis yang semula didukung. Kegundahan masyarakat atas manufer ini bukan tidak ditangkap oleh PKS. Ijtihat politik terlanjur ditetapkan dewan syuro dan DPTP berhak mengeksekusi calon sesuai seleranya. Masukan dari dewan pakar tidak mempan apalagi masukan masyarakat “badarai”. Sebanyak kurang lebih 28 orang dewan pakar akhirnya mengundurkan diri atas langkah PKS ini.Peristiwa ini menjadi memori buruk bagi masyarakat, mereka tidak percaya PKS yang selama ini menjadi benteng terakhir demokrasi, berani menjadi oposisi penyeimbang kekuasaan akhirnya tidak tahan silau kekuasaan dan bergabung juga dengan pemerintahan Prabowo rasa Jokowi. Ini sebagian yang membuat masyarakat berpaling dari PKS. Sebagian lagi khusus DKI, yaitu guyonan nyeleneh Suswono tentang janda dan diikuti pula beberapa waktu kemudian oleh Ridwan Kamil membuat marah aktivis perempuan. Bahkan ada organisasi yang membawa candaan itu ke jalur hukum karena dinilai menghina janda dan mempermainkan Nabi. Belum lagi jejak digital negative RK tentang Jakarta dan KTP keduanya di luar Jakarta. Inilah fenomena empiris di masyarakat yang tidak perlu kaca pembesar untuk melihatnya. Waketum PKB, Jazilul Fawaid bahkan mengatakan RIDO tidak menjual, makanya sulit untuk dimenangkan. Sedangkan Mardani pengurus DPP PKS mengatakan Anis efek kuat pengaruhnya memenangkan Pram-Rano. Kurang empiris apa analisisnya?
Pak Irwan benar, gaung perubahan sudah lama bergema di Depok. Mestinya bunyinya tidak kencang jika cepat diantisipasi dan dilakukannya tindakan preventif sebelum pilkada. Imam Budi adalah kader PKS yang juga petahana wakil walikota Depok. Secara sosial mestinya peluangnya besar memenangkan pilkada. Kurangnya political marketing saya yakini juga menjadi penyebab karena sudah merasa 20 tahun berkuasa dan saat ini petahana. Jadi mesin partai berjalan lambat dan penetrasi ke masyarakat tidak optimal. Anis efek tidak bisa dipungkiri turut menjadi pemicu disamping calon wakil yang kurang mendukung karena dari Golkar yang ketumnya ada masalah disertasi dengan UI dan kebetulan berlokasi di Depok.
Untuk kekalahan Iqbal versi quick count di Padang jadi menarik. Tidak dibahas juga oleh Pak Irwan. Walau telah memasang baliho bertulisakan, “Pilihan Anis Untuk Kota Padang No 2 Iqbal Masrul” baliho ini tidak memberi efek yang kuat padahal Anis pemenang pilpres di Padang dan sudah diendorses oleh Anis. Saya jadi ingat percakapan saat survey kecil-kecilan dengan driver ojol. Beliau mengatakan, “Iqbal salah tempat. Tidak punya rekam jejak di Padang tapi nekat bertarung di sini”. Hampir semua lapisan masyarakat di kota Padang memiliki literasi yang tinggi tentang politik. Kencenderungan memilih berdasarkan track record bukan endorses ulama atau tokoh nasional sekalipun. Bahkan dukungan UAS untuk petahana juga tidak mempan. Pemilih kota Padang sangat rasional. Lihatlah betapa serunya diskusi di lapau-lapau membicarakan tingkah polah poitikus dan partainya. Berdasarkan fenomena empiris dan hasil quick count, pada daerah basis kekuasaannya, analisis saya membuktikan bahwa keputusan dewan syuro berkoalisi dengan KIM berpengaruh terhadap menurunnya suara PKS pada pilkada 2024. Jika PKS tidak setuju dengan analisis ini ya tidak ada masalah karena setiap orang punya sudut pandang yang berbeda.
Tulisan Pak Pak Irwan lebih menunjukkan kedewasaan berpolitik dibanding politikus lokal dan kader PKS lainnya. Pada paragraf keempat Pak Irwan menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak dan siap mengevaluasi diri. Sebuah kebesaran jiwa dan kelapangan hati yang patut diacungi jempol dan diapresiasi. Membacanya timbul secercah harapa lagi pada PKS karena dengan rendah hati Pask Irwan mengatakan siap mengevaluasi diri. Sebagai penikmat berita politik tanah air, saya berani mengatakan, tidak ada pengelolaan partai yang sebaik PKS. Tidak ada partai yang sebersih dan seprofesional PKS. Jika kritik dan saran Dewan Pakar saja kemaren tak digubris PKS yang menyebabkan mereka akhirnya mundur, semoga tulisan singkat ini dapat dijadikan evaluasi untuk kemajuan PKS dimasa yang akan datang. Biarlah partai berada di market niche, tapi konstituen loyal. Dari pada bergegas mengenggam kekuasaan dan mimpi menjadi market leader tapi partai kehilangan nilai dan ditinggal konstituen. Memang berpolitik adalah alat merebut kekuasaan, tapi berkuasa dengan nilai dan etik itu akan membawa keberkahan. Walahualam bishowab.