Sebagai bangsa yang multikultural dengan bermacam-macam etnis, suku, ras, budaya serta agama, Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan agama merupakan tantangan yang paling rapuh dan juga sensitif, yang mana konflik antar umat beragama seringkali memecah belah bangsa Indonesia kedalam kubu-kubu tertentu.
Tantangan terkait perbedaan agama di Indonesia masih sering kita dengar dan kita lihat melalui sosial media atau televisi. Tantangan ini, biasanya berkaitan dengan nilai-nilai toleransi, terkhususnya toleransi beragama. Toleransi beragama sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tindakan membiarkan atau memberikan kebebasan dan kesempatan kepada orang lain untuk menjalankan apa yang dipercayai dan diimaninya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Ini juga sangat berkesinambungan dengan perlindungan HAM, Dimana HAM sangat menjunjung tinggi persamaan dan hak setiap manusia yang hidup di suatu negara. Hak asasi manusia adalah kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari hak asasi manusia (“HAM”) adalah kehidupan dan martabatmanusia.Secara historis, akar filosofis dari munculnya gagasan HAM adalahteori hak kodratiataunatural rights theoryyang dikembangkan para filsuf sepertiJohn Locke,Thomas Paine, danJean Jacques Rousseau. Inti dari hak kodrati adalah semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat pada dirinya, dengan demikian tidak dapat dicabut oleh negara begitu juga dengan perbedaan agama yang terjalin di masyarakat.
Sayangnya, sampai saat ini masih ada beberapa oknum yang bersikap intoleransi dan melanggar hak asasi manusia lain untuk beragama menurut kepercayaannya. Hal ini dibuktikan dengan seringnya ditemukan ujaran kebencian terkait suatu agama tertentu yang dilemparkan oleh agama lain di sosial media. Tak jarang agama yang disinggung, kerap melontarkan serangan balik yang sama kasarnya terhadap agama lain yang bersangkutan.
Selain itu, beberapa tahun terakhir juga kita ketahui bersama muncul pemberitaan mengenai pemaksaan penggunaan hijab bagi siswi non-islam yang bersekolah di sekolah negeri. Hal ini berhasil menuai pro dan kontra dan kecaman dari berbagai pihak. Namun yang paling disayangkan ialah orang-orang tidak berfokus pada solusi agar masalah yang sama tidak lagi terulang, melainkan sibuk melayangkan hujatan-hujatan tidak pantas kepada agama Islam. Padahal masalah ini timbul akibat sikap egois dan intoleran dari pihak-pihak tertentu yang tidak mau bersikap terbuka terhadap perbedaan agama serta memandang agama lain sebagai sesuatu yang perlu untuk dibenci.Tindakan-tindakan pelabelan serta penghinaan terhadap agama inilah yang kemudian mengancam perpecahan bangsa yang berkaitan dengan sila ke-3, yaitu persatuan Indonesia. Sila-ke 3 mengajarkan untuk Bersatu tidak untuk saling menyakiti dengan mencemooh agama dan kepercayaan yang berbeda di dalam masyarakat.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, banyak dilakukan sosialisasi-sosialisasi pencegahan intoleran yang dilakukan kepada generasi muda agar mereka dapat mempelajari dan juga memahami toleransi beragama seperti yang diharapkan dari sila ke-3. Melakukan sosialisasi tidak hanya untuk mengajarkan melainkan mengajak para generasi muda yang akan berkarier di masa depan agar tidak melakukan hal yang melanggar HAM orang lain. Mungkin dengan car aini juga para generasi muda agar mulai menelaah dan juga menjaga sikap agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.