Catatan Mengikuti The World Thinkers n Writers Peace Meet di Kolkata India; Puisi Sebagai Sebuah Pertunjukan?

Foto Sastri Bakry
×

Catatan Mengikuti The World Thinkers n Writers Peace Meet di Kolkata India; Puisi Sebagai Sebuah Pertunjukan?

Bagikan opini
Ilustrasi Catatan Mengikuti The World Thinkers n Writers Peace Meet di Kolkata India;  Puisi Sebagai Sebuah Pertunjukan?

Memasuki Universitas Adamas yang luas dan megah, pikiran saya terbang ke Padang. Ini adalah hari kedua agenda the World Thinkers n Writers Meet di Kolkata. Saya membayangkan delegasi the 3rd IMLF 2025 juga bisa melakukan kunjungan ke kampus di Sumbar. Lalu panitia bisa mengajak kolaborasi Universitas Andalas juga seperti sebelumnya dengan Universitas Negeri Padang. Waw..Tetapi bukan itu catatan saya sekarang di hari kedua acara the World Thinkers and Writers Peace Meet bertempat di Auditorium Universitas Adamas, Kolkata yang dihadiri dosen dan mahasiswa universitas Adamas.

Kami disuguhkan tarian India dari mahasiswa Adamas. Sungguh menghibur dan mengesankan, gerak lincah mahasiswa Adamas. Setelah itu secara bergiliran para penyair dunia membacakan sajaknya dengan bahasa dan gaya masing- masing.

Pada sesi tanya jawab setelah para penyair dari 15 negara membaca puisi, terutama penyair Indonesia Sastri Bakry, Mira Gusvina dan Eka Teresia yang sangat ekpsresif membaca puisi, ada pertanyaan untuk saya yang cukup menarik . Pertanyaan ini sesungguhnya seringkali muncul di setiap even sastra yang saya ikuti.

Kenapa orang Indonesia jika membaca puisi sering berteriak, ada yang sambil menyanyi, menari dan drama penuh emosi dan energi? Ini seolah gelombang baru di Indonesia yang menghilangkan cara lama membaca puisi menjadi cara modern dan kontemporer.

Pertanyaan Dr Sudipto Chaterjee yang tiba-tiba tersebut mengagetkan saya. Saya sedikit tergagap dengan pertanyaan yang di luar dugaan. Selain karena keterbatasan bahasa juga pertanyaan ini menjadi hal yang pro kontra selama saya memunculkan membaca puisi sebagai sebuah pertunjukan seni sejak belasan tahun lalu terutama untuk kompetisi bakat di Sumbar yang dikenal dengan nama Sumbar Talenta.

Sumbar talenta adalah sebuah ajang lomba di segala talenta. Menyanyi, menari, drama, musik dan membaca puisi. Setiap peserta lomba baca puisi saya selalu meminta mereka untuk tampil dengan memadu semua talenta mereka menjadi sebuah paket pertunjukan. Banyak pro dan kontra, tetapi saya tetap konsisten dengan membuat pertunjukan yang menghibur agar pesan puisi lebih sampai ke penonton, terutama penonton umum sejak dua puluh tahun lalu.

Namun, pertanyaan menarik Dr Sudipto memang harus dijawab. Tapi untuk menjawab secara teori sastra, lebih spesifik lagi puisi kenapa seperti itu tentu saja saya tidak ahli.

Saya hanya mengatakan bahwa sastra adalah seni mengungkapkan ide, pikiran , gagasan, perasaan dalam permainan kata, simbol, metafora bersifat imajinatif, cermin kenyataan, atau fakta data asli. Salah satunya adalah puisi. Ketika menulis puisi kita berharap orang paham akan makna puisi. Ketika dinikmati publik tentu perlu mencuri perhatian publik. Segala bentuk seni bisa digunakan agar pesan puisinya sampai ke audiens. Apakah dengan puisi saja atau kombinasi berupa tari, nyanyi, teater, musik dan lain-lain.

Jona Burghardt, penyair Argentina, memperkuat pendapat saya dengan mengatakan seni di era sekarang adalah yang penting semua orang memahami, mengerti dengan idea kreatif yang disampaikan. Bukan soal keindahan kata- kata saja, tapi pesannya tak dipahami orang.

Penyair Irak, Muniam Alfaker, yang sekarang menetap di Denmark menceritakan tentang keterbatasan penyair Irak. Tapi mereka tetap ingin menyuarakan dan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dimana pun berada agar kita peduli dengan sesama

Bagikan

Opini lainnya
Terkini