Koperasi Harus Menjadi Entitas Utama Swasembada Pangan

Foto Defiyan Cori
×

Koperasi Harus Menjadi Entitas Utama Swasembada Pangan

Bagikan opini

(Sebuah Usulan/Sumbang Saran Dalam Mendukung Asta Cita Presiden RI)

Mengapa harus entitas ekonomi dan sosial Koperasi yang harus menjadi pelaku utama dalam mencapai sasaran swasembada pangan? Tentu sangat banyak alasan yang bisa diuraikan dalam mendukungnya, baik berdasar Ideologi negara Pancasila, konstitusi UUD 1945 (utamanya Pasal 33 UUD 1945) maupun dari praktek terbaik (best practices) diera Orde Baru (Orba) apalagi Koperasi menjadi misi ke-3 Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Yang lebih relevan lagi, yaitu ketahanan ekonomi Koperasi dan kontribusinya secara langsung bagi kesejahteraan anggota apabila prinsip-prinsipnya dijalankan dengan baik dan benar.

Kontribusi secara makro ekonomi tampak nyata selama masa Orba yangmana capaian kinerja pertumbuhan mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Hal ini dicapai dengan menerapkan perencanaan strategis pembangunan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun atau dikenal dengan singkatan REPELITA. Repelita dimulai tahun 1969 serta berjangka selama enam (6) periode, tapi sayangnya pada Repelita VI (1995-2000) terjadi krisis ekonomi dan politik pemerintahan yang ditandai oleh pengunduran diri Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Berbagai catatan kinerja penting telah ditorehkan dalam pembangunan ekonomi bangsa dan negara melalui kontribusi sektor pertanian ditopang oleh entitas ekonomi Koperasi Unit Desa (KUD) serta minyak bumi dan dan (migas) oleh BUMN Pertamina dan PLN.

Kesetaraan Perlakuan

Selama kepemimpinan Presiden almarhum Soeharto banyak prestasi yang diakui dunia internasional, diantaranya Bank Dunia (the World Bank) mencatat lima kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada ditingkat 8 persen atau lebih. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia mencapai 10,92 persen pada tahun 1968. Setelah itu, Indonesia kembali mencapai pertumbuhan ekonomi terbaik di kisaran lebih dari 8 persen itu pada tahun 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Pemerintahan Orba dibawah kepemimpinan Presiden almarhum Soeharto telah membuktikan kinerja pertumbuhan dan pemerataan ekonomi melalui penegakkan ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) relatif baik.

Walaupun, pada akhirnya terdapat pandangan minor dari sebagian publik atas beberapa kasus terkait pengelolaan koperasi yang tidak menjalankan kaidah profesionalitas dan prinsip transparansi serta akuntabilitas publik (tata kelola koperasi yang bersih dan baik/good and clean cooperative governance). Meskipun begitu, pasca berakhirnya pemerintahan Orba tetap tak menghilangkan kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi selama 20 tahun atau selama empat (4) periode pelaksanaan Repelita beserta hasil-hasilnya. Masih banyak juga jumlah koperasi yang berkinerja baik dan positif tapi luput dari pantauan publik melalui dukungan pemberitaan media yang massif. Justru, yang sangat sering disebarluaskan oleh sebagiam besar media utama (mainstream) adalah koperasi yang berkinerja buruk dan negatif.

Keberadaan (eksistensi) Koperasi jelas bertujuan memberikan banyak manfaat dan kesejahteraan bagi anggotanya. Namun, ada juga beberapa koperasi atau menggunakan "nama koperasi" diera orde reformasi yang tak bermanfaat dan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah anggotanya. Terdapat, dua (2) kasus terbesar pengelolaan entitas ekonomi berbasis keanggotaan ini pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dan KSP Sejahtera Bersama (KSP SB), dengan kerugian masing-masing mencapai Rp15 triliun dan Rp8,8 triliun. Rata-rata koperasi bermasalah memang lebih banyak beroperasi disektor keuangan atau jenis koperasi siimpan pinjam yang mengakumulasi dana para anggotanya.

Kasus koperasi ini jelas mencoreng dan membuat buruk citra koperasi dimata publik seolah-olah semua koperasi (jump to blaming conclusion generally) adalah berpraktek yang sama. Padahal, sejatinya publik juga tidak memeriksa dan bertanya lebih jauh apakah benar koperasi yang berkasus tersebut betul-betul telah menjalankan prinsip perkoperasian atau hanya papan namanya saja koperasi? Amplikasi pemberitaan mengenai kasus koperasi bermasalah ini jelas tidak wajar (fair) dan adil (equal) sehingga kontraproduktif bagi perkembangan dan kemajuan perkoperasian.

Hal ini berdampak buruk serta berakibat pada runtuhnya kepercayaan publik terhadap entitas ekonomi koperasi lalu lebih jauh menganggap korporasi yang menguasai perekonomian nasional menjadi pilihan terbaik. Pemberitaan yang menyudutkan citra koperasi itu seolah-olah mengabaikan banyaknya kasus kejahatan ekonomi dan keuangan juga telah dilakukan oleh korporasi, seperti kasus perdagangan terselubung (insider trading) di berbagai lembaga perbankan dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Apalagi, para korporasi atau taipan yang saat ini tumbuh berkembang dan menggurita dahulunya memperoleh perlakuan istimewa (previllege) diera Orde oleh pemerintah dalam hal penyaluran kredit.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini