Ketika diperintakan mendampingi Kepala Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat (Kadisjarahad) Brigjend TNI Arif Cahyono, SE mengunjungi museum PDRI di Kototinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat pada Jumat (22/11/2024), saya berusaha mencari dokumen, buku dan referensi tentang peristiwa tersebut. Saat membaca buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI” karya Marwati Djoened Proesponegoro dan Nugroho Notosusanto, tidak banyak yang didapat informasi tentang PDRI. Padahal buku tersebut diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Inikah yang dikatakan Nerlandosentris atau Jawa-sentris dalam penulisan sejarah.
Sebagai seorang sejarawan yang pernah diajarkan mata kuliah “metodologi sejarah” dan “historiografi” tentu dapat dimaklumi, mengapa informasi sejarah tentang PDRI tidak banyak ditulis dalam buku babon sejarah “SNI”. Namun sebagai seorang anak bangsa yang pernah membaca goresan tulisan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno tentang “Never Leave History”, kita tentu sedikit banyaknya menyesali hal ini. Penyesalan kita tentu berkenaan dengan peristiwa PDRI yang berkaitan erat dengan masa depan Indonesia pasca Soekarno-Hatta beserta beberapa menteri yang ditawan Belanda pada Agresi Militer II dan selanjutnya dibuang ke Brastagi, Sumatera Utara untuk Presiden Soekarno dan Pulau Bangka untuk Wapres Moh. Hatta.
Sebelum diasingkan ke Sumatera, Presiden Soekarno berkesempatan untuk menulis mandat kepada Menteri Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk sekaligus memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 19 Desember 1948. Dalam hal ini ada yang menyatakan surat telegram dalam bentuk mandat tersebut belum sampai ketangan Syarifuddin, beliau ternyata telah membentuk PDRI di Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 yang selanjutnya sejak Presiden SBY dijadikan sebagai “Hari Bela Negara”.
Terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didasari oleh Instruksi Presiden tanggal 19 Desember 1948 yang memberi kuasa penuh kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera. Walau mandat tersebut tidak pernah diterima oleh Syafruddin, namun setelah mendengar siaran radio, bahwa Yogyakarta telah diduduki/dikuasai oleh Belanda, beliau bersama pejabat lainnya dirumah M. Teuku Hasa, di atas ngarai “sianok”, berinisiatif mendirikan/membentuk PDRI.
Selanjutnya PDRI resmi berdiri di Halaban (daerah Lima Puluh Kota) pada tanggal 22 Desember 1948. Kabinet PDRI adalah “Kabinet Perang”, dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri (ad interim). Disamping beberapa menteri lainnya, didalam struktur PDRI juga terdapat Pimpinan TNI AD, TNI AU dan Polri. Saat PDRI diumumkan, maka Jenderal Sudirman langsung menyatakan dukungannya. Untuk itu wajar manakala dalam struktur kepemimpinan PDRI, Sudirman menjabat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI.
Walau bersifat darurat, menurut Emil Salim, PDRI mampu melanjutkan status dan fungsi kenegaraan guna mengkoordinasi perjuangan dalam menyelamatkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bila dibandingkan dengan “Supersemar”, maka pelimpahan kekuasaan dan wewenang Presiden Soekarno kepada Syafruddin Prawiranegara lebih utuh, total dan lengkap. Sedangkan penyerahan mendat oleh Presiden Soekarno kepada Soeharto saat “Supersemar” pada tanggal 11 Maret 1966 hanyalah pada aspek “keamanan dan pertahanan”.Tujuan utama PDRI adalah melakukan koordinasi pemerintahan, melanjutkan perang gerilya, memupuk moril perjuangan dan semangat rakyat, sehingga republik terselamatkan. Karena bersifat mobil, maka PDRI sangat sulit terdeketeksi oleh pasukan Belanda. Setelah diproklamasikan di Halaban, Syafruddin Prawiranegara dan rombongan Kabinet PDRI (24 Desember 1948) bergerak dari satu daerah ke daerah berikutnya dikawal oleh tentara, dan dilengkapi operator radio. Selain radio Bidar Alam dan Kototinggi milik AURI, terdapat juga sebuah pemancar PTT dengan callsign YBJ-6 yang aktif membantu PDRI. Pemancar ini termasuk pemancar kuat yang luput dibumihanguskan Belanda.
Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara menjadikan Bidar Alam (Solok Selatan) sebagai pos Komando PDRI (14 Januari 1949 - 18 April 1949) dan melakukan siaran-siaran radio secara rutin dari Stasiun Radio Bidar Alam. Kontak-kontak dilakukan dengan sender-sender Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Sumatera dan Jawa pada malam hari, mulai pukul 22.00 hingga menjelang pukul 04.00 pagi. Konsistensi pemberitaan PDRI melalui radio menyebabkan Belanda mendapat tekanan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Upaya kompromi Belanda tidak dilakukan dengan PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Sumatera atau Panglima Jenderal Sudirman di Jawa, tapi hubungan dilakukan dengan kepemimpinan Sukarno-Hatta. Pada bulan April 1949 berlangsung pertemuan antara delegasi pimpinan Mr. Mohammad Roem dan Dr. J.H. van Royen, dan hasilnya, Belanda mengizinkan pemimpin Republik kembali ke Yogyakarta (22 Juni 1949). Pembicaraan Roem-Royen menyetujui pula pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara wakil Republik Indonesia bersama-sama wakil Bijeenkomst voor Federale Overleg atau disingkat BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) dengan pemerintah Belanda, untuk penyerahan kedaulatan kepada Indonesia.
Perundingan dan persetujuan Roem-Royen mengecewakan kepemimpinan sipil PDRI di bawah Syafruddin Prawiranegara dan kepemimpinan militer di bawah Jenderal Soedirman. Bagi mereka, PDRI yang seharusnya melaksanakan perundingan dengan Belanda, karena secara legalitas PDRI adalah pemerintahan yang sah, dan pemimpin republik yang ditahan tidak mengetahui realitas Belanda di lapangan.