Tidak aktifnya beberapa organisasi urang awak perantauan di Banda Aceh saat itu dapat dimaklumi karena memang kondisi Aceh yang berada dalam suasana konflik.
Salah satu issue terpenting dan rawan saat itu di Aceh adalah masalah eksistensi pendatang. Namun kenyataannya bahwa keberadaan “urang awak” di Aceh tetap diterima masyarakat lokal. Hal ini disebabkan karena secara religious dan sosio kultural masyarakat Minang tidak jauh beda dengan masyarakat Aceh. Demikian juga tentunya kemampuan “urang awak” dalam beradaptasi, bersosialisasi dan berintegrasi yang bisaditerima masyarakat lokal.
Beberapa jam pasca Aceh dilanda gempa bumi dan gelombang tsunami, pengurus Ikatan Keluarga Minang (IKM) Banda Aceh langsung mendirikan posko korban gempa dan tsunami di daerah Geuchue, Lhong Raya, Banda Aceh. Di posko ini berkumpullah mereka-mereka yang jadi korban, keluarganya yang jadi korban, mereka yang kehilangan rumah, isteri/suami, orang tua, dan sanak saudara. Karena belum adanya bantuan dari pemerintah, maka kami yang masih hidup pasca tsunami beriyuran, membawa sembako dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhansehari-hari para korban. Saat itu saya juga sempat membawa makanan kaleng, kue dan minuman keleng tentara ke posko. Disinilah kita merasakan betapa pentingnya eksistensi organisasi para perantau.
Organisasi Rantau Alhamdulillah, dimana saya dinas saya berusaha menjadi bagian dari “guyub rantau”. Ketiga bertugas di Palembang, saya menjabat sebagai Wakil Sekretaris IKTDdan Wakil Ketua Badan Musyawarah Keluarga Minang (BMKM) Sumsel. Selanjutnya saat pindah ke Banda Aceh, saya juga aktif di IKTD dan IKM Banda Aceh. Sedangkan setelah pindah ke Bandung saya naik peringkat menjadi Ketua Dewan Pembina IKMCimahi dan ketua Dewan Penasehat Keluarga Urang Awak Cimahi (KUACI). Saat itu saya dengan beberapa perantau yang peduli memotori berdirinya IKM Cimahi.
Bagi saya, organisasi sesama perantau memiliki manfaat yang besar serta bernilai strategis, sosiologis dan politis. Lewat organisasi rantau, kita bisa saling bersilaturrahmi antara satu dengan yang lainnya. Ketika ada musibah, seperti: sakit,kemalangan, meninggal dunia dan masalah sosial lainnya – sesama perantau kita bisa saling meringankan dan tolong menolong. Ketika ketua IKTD Palembang dijabat oleh Kombes Polisi Nasser Amir, berbagai permasalahan perantau Minang dapat diselesaikan dan dicarikan solusinya. Bahkan bagi warga IKTD yang berminat masuk polisi dapat dibantu oleh pak Nasser, sedang untuk masuk tentara saya sendiri yangturun tangan. Termasuk tentunya mereka-mereka yang bersentuhan dengan hukum, organisasi guyub dapat mencarikan solusinya.
Kegiatan BMKM yang demikian sangat beragam, baik yang berkenaan dengan olah raga maupun seni budaya membuat warga perantauan Sumatera Selatan merasa berada dikampung sendiri. Di organisasi rantau, generasi muda dibekali sejarah, adatistiadat dan sosial budaya Minangkabu. Jika mereka mau terjun dalam bisnis, dagang dan usaha mandiri, para pengurus menyiapkan berbagai kegiatan training dan bahkan memfasilitas peminjaman modal.
Jika di BMKM Sumatera Selatan beserta Ikatan Keluarga MinangKabupaten/Kota memfasilitasi gedung pertemuan, rumah ibadah dan pelatihan untuk warga perantaunya, maka KUACI/IKM Cimahi menyediakan komplek pemakaman yang dibeli 1,5 Miliar, kendaraan operasional dan Insya Allah juga akan membuat Masjid Minangkabau dalam waktu dekat. Untuk membuat masjid ini, alhamdulillah dalam Waktu satu jam pengurus telah berhasil mengumpulkan dana 800 juta. Sedangkan untuk IKTDBandung, pengurus telah berhasil membuat mess mahasiswa dengan 24 kamar.Dalam hal ini saya sebetulnya sangat bangga dengan semangat urang awak mengurus organisasi rantau ini. Tidak semua daerah perantauan yang memikliki semangat untuk mengurus para perantaunya sebagaimana diperlihatkan oleh urang awak Minangkabau. Ketika masyakarat dikampung halaman ditimpa musibah seperti gempa bumi, galodo, banjir bandang dan gunung apai meletus: para perantau dari berbagai penjuru negeri berlomba-lomba mengirimkan bantuannya, baik langsungmaupun tidak langsung.
Saya jadi kagum dan penuh haru ketika pelantikan pengurus BMKM Sumsel dan IKTDP Palembang, karangan bunga “ucapan selamat” tidak hanya berdatangan dari wilayah sekitar Sumatera Selatan, melainkan juga datang dari Aceh, Pekan Baru, Batam, Dharmasraya, Bandung, Cimahi, Jakarta, Bali dan Pemerintah daerah Sumatera Barat maupun Kabupaten dan Kota. Bagian lain, kitapun memahami ada diantara para perantau yang belum punya niat untuk bergabung dengan sesame perantau dengan alasan maupun pertimbangan yang beragam.
Melalui tulisan ini kepada pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat agar senantiasa membangun hubungan dengan para perantaunya dalam suka dan duka, Jika bapak-bapak unsur pimpinan di Sumatera Barat butuhbantuan perantau, kamipun dari rantau butuh dukungan/support pemerintah daerah Sumatera Barat agar tetap semangat mengais rezeki, membangun silaturrahmi dan menjaga nama baik “Minangkabu” ditanah rantau. (*)