Tahun 2025 baru saja bergulir ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kado yang memantik histeria politik: penghapusan ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Putusan ini disambut dengan bangga sebagai langkah hukum yang berani. Applause diberikan kepada empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang mengajukan judicial review.
Tanpa dukungan pengacara, keempat pemuda yang duduk di semester 7 itu menembus labirin hukum gugatan ke-33 untuk perkara yang sama, hingga lahir putusan MK yang menjadi semacam “golden ticket” bagi partai mana pun untuk mengajukan capres-cawapres. Kini, setiap partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2029 diwajibkan mencalonkan pasangan, baik secara mandiri maupun berkoalisi.
Hasilnya? Potensi tsunami kandidat presiden yang bisa membuat pemilih kebingungan. Namun, jangan salah sangka. Jika nantinya ada 30 pasangan capres, yang mungkin justru kebingungan adalah para kandidat itu sendiri. Mereka harus mempersiapkan dana, tim, stamina, serta ide-ide yang ditawarkan.
Dalam survei kecil yang dilakukan Dahlan Iskan, muncul prediksi tentang jumlah pasangan capres. Responden memberikan jawaban yang beragam, mulai dari tiga atau empat pasangan hingga tujuh atau lebih. Bahkan, ada yang membayangkan hingga 12 nama potensial untuk Pilpres 2029.
Nama-nama seperti Anies Baswedan, Gibran Rakabuming Raka, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, hingga Khofifah Indar Parawansa diprediksi akan muncul. Tak ketinggalan “kaki lama” seperti Prabowo Subianto dan Puan Maharani, yang masih bertahan seperti tamu pesta yang enggan pulang.
Jika peraturan ini benar-benar diterapkan setelah dibahas dan disepakati DPR, siapa pun dengan cukup keberanian —atau kegilaan— dapat maju dalam Pilpres. Bersiaplah melihat calon-calon outlier yang tak terduga: figur kondang, mantan YouTuber, seleb TikTok, atau aktivis lapangan.Banyak yang menyebut fenomena ini sebagai kebebasan demokrasi. Namun, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat berubah menjadi bahan tertawaan global. Sebagaimana diingatkan Kwik Kian Gie, kita mungkin akan melihat lebih banyak “badut politik” daripada negarawan sejati.
Fenomena ini mengingatkan kita pada Black Swan Election di Amerika Serikat, di mana Donald Trump, dengan segala kontroversinya, berhasil kembali menjadi presiden. Bayangkan, dia dibayangi dakwaan kriminal, etika, dan omongan kasar, sementara lawan menurut survei tak bakal terkalahkan.
Pemilu Black Swan merujuk pada hasil yang melampaui ekspektasi publik —kombinasi antara ketidakpastian, narasi kuat, dan momentum yang mengguncang status quo. Ketika lawan kebingungan fokus karena terlalu banyak yang hendak dikampanyekan, Trump memilih fokus pada janji membuat Amerika great atau hebat kembali.
Pemilu seperti ini menggambarkan bagaimana strategi sederhana yang dimainkan dengan cerdas oleh tim Trump bisa menggulingkan strategi kompleks penuh intrik yang dimiliki lawan. Indonesia memang tidak memiliki sistem Electoral College, tapi pelajaran dari Amerika jelas: kejutan adalah bagian dari permainan politik.