Tidak banyak daerah di Nusantara yang diekspor sedemikian besar oleh pemerintah kolonial khususnya sejak awal abad ke-19 seperti Sumatera Barat. Raffles pun sampai bertengkar cukup lama dengan pemerintah Belanda sampai harus ditegur langsung oleh Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Hastings, karena dia bersikukuh tidak mau menyerahkan wilayah Sumatera Barat kepada Belanda setelah dikuasai sejak 1795. Raffles yang boleh jadi orang Eropa pertama yang memasuki pedalaman Minangkabau dari pantai barat punya rencana-rencana besar dengan wilayah yang menurutnya sangat kaya dan menjanjikan ini.
Bukan tanpa alasan Belanda mau membantu kaum adat dalam perang melawan kaum Paderi meski tahu dengan konsekuensi korban dan biaya besar. Perang yang dalam perkiraan awal hanya akan makan beberapa tahun ternyata berlarut-larut dua puluhan tahun lamanya, karena kaum Paderi ternyata lawan yang amat tangguh, dengan multi leader pada nagari-nagari yang banyak jumlahnya. Eksplisit kita baca dalam tulisan-tulisan kolonial masa ini betapa perang di Minangkabau paling merepotkan dibanding perang-perang lain di Nusantara sampai saat itu.
Pada 1830-an, di sela-sela perang yang masih terjadi di beberapa tempat, sejumlah ilmuwan anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië bentukan Raja Belanda Willem I tidak sabar berkunjung ke Sumatera Barat, menjelajahi potensi kekayaan alam negeri ini. Salomon Müller keliling Minangkabau dan mendaki Marapi, Ludwig Horner naik ke puncak Talamau (Ophir), ditambah Korthals membantu survey konstruksi jalur Lembah Anai, secara bersama ataupun terpisah menulis laporan ilmiah ratusan halaman yang mungkin sebagian besar kita tidak pernah baca sama sekali.
Setelah mereka dimulailah masa-masa produktif kajian masa kolonial tentang Sumatra’s Westkust, terutama oleh orang Belanda dan Jerman, tak hanya sejarah dan geografi, tapi juga geologi, biologi, botani, kedokteran, pertanian, sastra, budaya, hukum adat, transportasi, perkebunan, kehutanan, dan wisata. Tulisan ini tersebar dalam ratusan buku, ribuan artikel dan berita dalam puluhan jurnal dan surat kabar, serta tentunya surat-surat pribadi yang barangkali sebagian besar kita tak pernah akses sama sekali, dalam kurun 1820-an sampai Indonesia merdeka. Ini di luar karya-karya Eropa tentang Sumbar (Minangkabau) sebelum abad ke-19, oleh semacam Tome Pires, Valentijn dan Marsden.
”Warisan” kajian pertama kolonial pastilah kajian potensi mineral Sumatera Barat. Di masa berbagai provinsi berpacu-pacu menggali potensi alamnya untuk eksplorasi, tentu dengan harapan tinggi memperbaiki kesejahteraan penduduk mereka, Sumatera Barat diuntungkan dengan kelimpahan sejarah tambangnya. Boleh dikatakan tak perlu eksplorasi perdana lagi yang akan makan milyaran, cukup tinjau kajian-kajian lama berbahasa Belanda, oleh para ilmuwan semacam Huguenin, RDM Verbeek dan Reinder Fennema. Ratusan konsesi tambang telah diterbitkan oleh pemerintah kolonial di Sumbar sejak 1850-an, dan puluhan tambang bahkan telah berdiri, sebagian besar menggarap 2 jenis logam mulia: emas dan perak. Batubara Ombilin dengan kualitas nomor wahid dihandel sendiri oleh pemerintah kolonial sudah hasilkan entah berapa trilyun.
Sudah jelas berton-ton logam mulia dan trilyunan hasil batubara sebagian besar tidak dinikmati oleh penduduk pribumi saat itu, yang tetap hidup pas-pasan dan cukup puas dengan mencoba sedikit kemajuan peradaban seperti pendidikan dan transportasi modern. Namun, lubang-lubang tambang emas yang tersisa sejatinya masih ada dan bisa diidentifikasi lokasi dan koordinatnya, pun tambang-tambang lama pribumi yang disebut-sebut oleh kajian-kajian tambang kolonial masa itu. Dan tentunya sedikit banyak logam masih “disisakan” meski perlu survey lanjutan apakah masih layak tambang secara komersil. Pun mineral-mineral lain seperti besi dan tembaga, bahkan minyak bumi yang kita sangka tidak ada di Sumbar, ternyata pernah dilacak oleh geolog Belanda van Schelle (yakni di Kolok, Sawahlunto), meski mungkin layak tambang atau tidak perlu survey lapangan serius kembali. Sebagian besar dokumen ini masih ada, hanya tinggal dibaca, dikaji dan ditindaklanjuti.Bidang lain di mana Sumbar beruntung dengan warisan masa kolonial adalah transportasi. Belum ada rel kereta api di Korea Selatan (baru siap 1899), hanya 10 km rel di Cina dan baru kelar 4 rute pendek kereta api di Jepang, Sumatera Barat sudah siap rute 150 km dari Padang ke Sawahlunto melewati rute pegunungan yang amat menantang pada 1894. Luar biasanya lagi, sebagian rute ini memakai teknologi tercanggih kereta api saat itu: rel gerigi, yang baru diterapkan di Swiss dan Jerman.
Dalam berbagai tulisan dan dokumen Belanda yang ditinggalkan kita bisa melihat jelas rancangan besar yang direncanakan Belanda untuk sistem kereta api di Sumatera Barat ini, sebagai bagian dari rute seluruh Sumatera. Rancangan demikian tidak hanya wacana, tapi sudah dilakukan berbagai macam survey. Bahkan, sebelum usulan jalur kereta lewat Padang Panjang, rute lebih pendek Sawahlunto Padang via Sitinjau Laut (Soebang Pas) sudah kelar dalam laporan survey JL Cluysenaer dan tim insinyur, tebal 700 halaman, muncul 1876. Hanya untuk survey ini, Belanda sudah habiskan dana 700 ribu gulden (Rp. 175 milyar sekarang). Jika opsi rute ini dulu disetujui, maka Sumbar punya transportasi lain: funicular, seperti yang ada di Penang Hill.
Tidak hanya kereta api, jalan darat biasa pun diusahakan Belanda, melintasi afdeeling demi afdeeling. Pun banyak jembatan telah dibangun. Sebagian jalan ini bertahan, dan sebagian tak dipakai lagi. Dengan meninjau karya-karya kolonial, kita bisa cermati jalan-jalan dan jembatan-jembatan apa saja yang telah dibuat dan juga direncanakan Belanda. Belum lagi sejarah transportasi air di Sumatera Barat, di laut, danau dan sungai, semua sudah disebutkan dan dibahas dalam kajian mereka. Mempelajari tulisan-tulisan ini boleh jadi memberi inspirasi mengenai transportasi di Sumatera Barat bahkan untuk masa depan. Sebab, mau tak mau kalau mau maju transportasi yang apik dan integral adalah kunci.
Hal ketiga warisan tulisan kolonial yang dapat dimanfaatkan jelas adalah wisata, terutama wisata alam, budaya dan religius. Para pelancong seperti Croockewit, Bickmore, Marius Buys dan puluhan pelancong penulis lain telah mengarang travelog panjang dan menarik, mengeksplor kekayaan alam dan wisata Sumbar. Bahkan wisata religius pun bisa mengambil inspirasi dari tulisan masa kolonial, sebab kita lihat sejumlah pengarang Belanda juga menulis tentang sejumlah ulama Minangkabau di masanya. Verkerk Pistorius, misalnya, controleur sekaligus penulis tentang kebudayaan Minangkabau ini berteman cukup akrab dengan Syekh Muhammad Saleh di Silungkang pada 1860-an. Pejabat Belanda itu bahkan biasa datang ke surau besarnya baik siang dan malam, berinteraksi dengan anak-anak surau. Dengan membaca dan menelaah tulisan-tulisan kolonial semacam ini, biografi sejumlah ulama besar Sumbar masa lalu bisa ditulis dengan lebih baik. Sehingga, nilai wisata spiritual pun diperkuat basis data dan fakta.