Saya menilai, bergugurannya para kepala daerah petahana disebabkan beberapa hal. Diantaranya, awal masa mereka menjabat dunia sedang dilanda pandemi Covid-19, masa jabatan yang singkat.
Sehingga mereka susah merealisasikan janji kampanye, susah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dan gagal pula mempublikasikan diri serta bersosialisasi di media maupun media sosial.
Khusus untuk Eka Putra, selain covid-19 dan masa jabatan yang singkat, dia juga harus melewati ujian bencana erupsi Gunung Marapi dan Galodo yang melanda Tanah Datar.
Lalu, dia adalah kader Partai Demokrat, yang saat kepemimpinannya adalah oposisi dari Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Meski wakil bupati Richi Aprian diusung dari Partai Gerindra, namun dia mengundurkan diri dan berpindah ke partai lain.
Artinya, keberhasilan Eka Putra meraih kembali kursi Bupati Tanah Datar adalah keberhasilannya tetap bisa menjalankan program unggulan di masa pandemi Covid-19 dan masa jabatan yang singkat, serta dianggap berhasil dalam penanganan bencana galodo di Kabupaten Tanah Datar.
Eka Putra juga piawai, masih bisa membawa kue-kue pembangunan dari pusat, meski partai yang mengusungnya tak berkuasa di pemerintahan pusat. Tentu saja, dia juga piawai dalam mempublikasikan apa-apa yang dikerjakannya, dan berhasil menguasai opini di media massa maupun media sosial.
Setidaknya, Eka Putra berhasil dalam program bajak gratis, satu nagari satu event, pengobatan gratis, pelayanan administrasi kependudukan, serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).Tanah Datar menjadi kabupaten terbaik dalam pengendalian inflasi di Pulau Sumatera, berturut-turut terbaik dan meraih penghargaan pembangunan daerah (PPD) di Sumatera Barat, serta berbagai keberhasilan lainnya.
Artinya, dari berbagai indikator, Eka Putra bisa mengklaim telah membawa Tanah Datar menjadi kabupaten terbaik di Sumatera Barat. Tak salah juga kiranya jika dia kembali memenangkan Pilkada Tanah Datar, meski harus berjibaku menghadapi wakilnya sendiri.
Tantangan Periode Kedua