Selagi hidup, banyak yang tidak bisa membantu orang lain. Sementara itu, tak terhitung jumlahnya, cendikiawan dan ulama juga yang lain, setelah meninggal dunia,masih saja memberi nafkah kepada generasi demi generasi. Bukan hanya ilmu yang diajarkan, lalu muridnya mengajar orang lain dan orang lain itu mengajar pula. Buku-buku, kitab yang ditulis, dicetak ulang, nafkah mengalir untuk orang karena tulisannya. Buku tentang para ulama yang ditulis dari berbagai versi, mengalirkan royalti.
Buya Hamka misalnya, betapa banyak orang menerima royalty dari buku yang ia tulis, ayah Hamka, Inyiak Canduang, Inyiak Parabek, Inyiak Jambek, Rahmah El Yunissiyah. Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, sebutlah beberapa nama lainnya, memberikan royalti untuk buku-buku yang ditulis sekarang kepada penulisnya.
Belum lagi lembaga pendidikan, ribuan orang belajar di sana, miliran uang beredar setiap bukan di sekitar sekolah para ulama itu. Contoh: Diniyyah Puteri, Thawalib Padang Panjang, Thawalib Parabek, MTI Candung, Adabiah serta lembaga pendidikan lainnya yang masih kokoh berdiri di Sumatera Barat, yang diwariskan para ulama pendahulu tersebut.
Itulah salah satu bukti, “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Alah tiada, nyo agiah juo urang nafkah lain. Itu pula bukti, ilmu yang bermanfaat. Pada Ramadhan sekarang, sebaiknya, hal-hal semacam ini jadi materi ceramah jugalah hendaknya oleh para ustad. Kajian-kajian tentang ulama Minangkabau, jasa-jasa beliau, memang jarang dibawakan di mimbar, atau bahkan tidak ada.
Jika pemerintah merancang kurikulum muatan lokal, sebaiknya jangan terpaku pada adat saja, namun juga pada tokoh hebat Minangkabau yang nyaris tak terbilang banyaknya. Akan besar manfaatnya bagi peserta didik. Saya dengar ada di sekolah/madrasah yang seorang ulama, di sana tak diajarkan, siapa ulama hebat pendirinya, padahal nafkah dan ilmu terus mengalir dari ruang-ruang belajar.
Tentu bukan pada posisi mengajari, namun saya hanya berharap, kajian Ramadhan jangan soal ibadah melulu, namun juga soal sejarah Islam, sejarah agama kita sendiri. Jika itu tak disentuh, maka 30 malam, akan ada kaji yang berulang oleh ustad yang berbeda. Jika melulu soal ibadah, yang sebenarnya sudah diketahui oleh jemaah, maka kaji tidak menarik lagi.“Nanti 10 hari terakhir, masjid akan sepi, amak-amak sibuk di dapur, nan lain sibuk ka mall beli baju rayo, fitrah bukan itu,”kata ustad.
“Awak sakali sataun bisa bali baju barunye,” kata anak-anak.
Kajian yang diberikan di tiap masjid, jika tidak semua, hulunya, pada para ulama pendahulu kita. Cobalah teliti, akan menemukan kebenaran apa yang saya tulis ini. Karena itu, pantas jemaah diberi pengetahuan agak sedikit jadilah soal para ulama yang sekalipun sudah tiada, masih saja memberi nafkah kepada yang hidup.
Jangan kita sibuk mengurus Insya Allah, Insha Allah, baca doa berbuka sebelum meneguk air atau setelahnya. Atau, maaf, memang tak ada lagi ustad yang naik mimbar, menguasai sejarah perkembangan Islam Minangkabau? Rasa-rasanya sangat banyak. Dan saya yakin, kajian semacam itu ada, Cuma saya saja yang tidak tahu. Maaflah kalau mantun.