Bayangkan sebuah jalan raya. Di satu sisi, berdiri megah sebuah sekolah negeri. Bangunannya tegak, lantainya mengilap, buku-buku berjejer rapi di perpustakaan, dan ada ruang laboratorium yang meskipun kadang lebih sering terkunci, setidaknya ia eksis.
Guru-gurunya? Berbaju seragam necis, menerima gaji yang cukup untuk memikirkan liburan ke luar kota setiap akhir tahun ajaran. Bahkan, tukang kebunnya pun digaji oleh negara, sehingga sekolah-sekolah negeri itu tampak selalu asri dan bersih.
Di seberang jalan yang sama, berdiri sebuah madrasah. Atau lebih tepatnya, bangunan yang menempel di dinding masjid. Ruang kelasnya? Kadang ruang serbaguna, kadang emperan masjid, kadang beralaskan tikar di bawah pohon rindang.
Guru-gurunya? Ustaz dan kiai setempat yang mengajar dengan gaji setara harga paket data bulanan. Laboratorium? Apa itu? Perpustakaan? Hanya ada satu rak buku sumbangan yang lusuh dan kucel, seperti halaman madrasah itu yang tak terawat.
Dan inilah fakta pahit yang disampaikan sendiri oleh Menteri Agama: 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah madrasah swasta, tetapi perhatian negara kepadanya jauh lebih tipis dari lembaran kertas HVS yang sering habis sebelum semester berganti.
Lalu, muncullah kabar yang lebih memilukan: anggaran madrasah malah dipotong segede 12 triliun rupiah untuk program penghematan. Karena, tentu saja, mengejar dana 309 triliun untuk proyek besar lebih penting dari memastikan para guru madrasah tidak terus-terusan mengandalkan keikhlasan sebagai bahan bakar bertahan hidup.Mari kita jujur sejenak. Indonesia bukan negeri miskin. Ini negeri yang katanya kaya raya, di mana proyek infrastruktur bisa mencapai ratusan triliun, di mana subsidi mobil listrik bisa dengan mudah digelontorkan, di mana pejabat bisa makan malam dengan anggaran yang cukup untuk membiayai operasional satu madrasah selama setahun.
Di mana pula, para anggota dewannya rapat di hotel bintang lima membahas RUU TNI, beberapa pasal saja darinya. Tapi mengapa madrasah harus berjuang sendiri? Mengapa perbedaan sekolah negeri dan madrasah seperti kontras antara gedung parlemen yang megah dan rumah warga yang miring terkena angin kencang?
Apakah karena madrasah swasta dianggap bukan bagian dari sistem pendidikan nasional? Padahal pondok pesantren sudah memiliki Undang-Undang sendiri, yang semestinya punya Direktorat Jenderal sendiri di Kemenag.
Padahal, jika dilihat dari kontribusi, lulusan madrasah dan pesantren ini lebih banyak yang menjadi pemimpin masyarakat —imam masjid, mubalig, guru ngaji— daripada mereka yang lulus dari sekolah-sekolah elite yang lebih sering memburu gelar untuk diri sendiri daripada pengabdian untuk negeri.