Bedanya, kalau di medan perang musuhnya jelas, sedangkan di sini, musuh bisa berkedok seragam, jas mahal, atau akun anonim di media sosial. Kasus pembunuhan wartawan Tribata TV, Rico Sempurna Pasaribu dan keluarganya, baru saja memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara. Tiga terdakwa dituntut hukuman mati.
Namun, mari kita sedikit optimis —atau setidaknya berpura-pura optimis. Selama jurnalis masih terus menulis, selama media masih berani mengungkap, selama kepala babi dan ancaman dalam bentuk apa pun belum berhasil mengubah kepala manusia menjadi pengecut, maka masih ada harapan.
Memang, demokrasi kita masih penuh paradoks. Kebebasan pers dijamin konstitusi, tapi jurnalis masih dihantui intimidasi. Media dipuji sebagai pilar demokrasi, tapi sering diperlakukan seperti musuh negara. Pejabat kita mengutuk kekerasan terhadap pers, tapi entah kenapa pasal-pasal karet dalam UU ITE masih digunakan untuk membungkam suara kritis.
Tempo dan media kritis lainnya tentu paham risiko ini. Mereka tahu bahwa mengungkap kebenaran bisa berarti menerima ancaman, gugatan, atau bahkan kekerasan. Tapi tanpa mereka, kita hanya akan mendengar cerita yang dipoles, fakta yang disensor, dan narasi yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa.
Jadi, apakah kiriman kepala babi ini akan membuat Tempo dan jurnalis lainnya mundur? Rasanya tidak. Karena meskipun babi itu dipotong telinganya, jurnalis sejati tidak akan kehilangan pendengarannya. Mereka tetap mendengar suara rakyat, suara korban, suara kebenaran —dan terus menuliskannya.
Kepada siapa pun yang mengirim kepala babi itu, mungkin ada baiknya Anda belajar dari sejarah. Membungkam pers dengan teror jarang berhasil. Yang lebih sering terjadi justru sebaliknya: semakin ditekan, semakin kuat perlawanan. Dan kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo? Ia kini bukan sekadar bangkai, tapi simbol betapa lemahnya mereka yang takut pada berita.*Cak AT - Ahmadie Thaha*
_Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 22/3/2025_