Beberapa bulan belakangan ini marak kita dengar di masyarakat kasus penggusuran tanah, dari Bekasi sampai ke Makasar yang diwarnai dengan perlawanan dari masyarakat sehingga menjadi sorotan publik. beberapa dari kasus tersebut di antaranya bahkan telah bersertifikat dengan Hak Milik. pertanyaannya yang sering timbul adalah kenapa tanah yang telah bersertifikat hak milik pun dapat dikalahkan di pengadilan hingga dieksekusi dengan penggusuran? Bukankah sertipikat memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut?
Dalam teori Sistem Pendaftaran Tanah dikenal dengan Sistem Publikasi Negatif dan Sistem Publikasi Positif. Publikasi negatif maksudnya adalah negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat sehingga pemilik sertipikat adalah mutlak sebagai pemiliknya. sedangkan sistem Publikasi Positif adalah sebaliknya. sistem pendaftaran tanah di indonesia sering dikategorikan menganut sistem campuran keduanya yaitu sistem negatif bertendensi positif, maksudnya sertipikat adalah tanda bukti yang kuat (Pasal 19 Ayat 2 UUPA) selama tidak ada keputusan yang membatalkannya.
Kemudian bagaimana nasib dari masyarakat yang sertipikat hak atas tanahnya hapus karena telah dibatalakan atau musnah? Dengan adanya kenyataan-kenyataan seperti ini, dalam upaya memperkuat perlindungan hukum atas tanah yang telah terdaftar memang seharusnya perlu dipikirkan pembentukan/konsep alternatif pengalihan risiko dalam pendaftaran tanah (Asuransi Tanah) sebagai upaya untuk memperkuat jaminan kepastian hukum (tittle insurance)
Asuransi atau pertanggungan sejatinya adalah masuk dalam golongan perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst) yaitu suatu perjanjian dengan sengaja digantungkan pada keadaan yang belum tentu terjadi, ambillah contoh seorang pemilik rumah tentu saja dari semula tidak mau atau berkepentingan agar rumahnya tidak terbakar sehingga di-Asuransikan. Hal sama dapat diterapakan dalam pendaftaran tanah. seseorang sejak awal memohon sertipikat sebagai bukti hak atas tanah berkepentingan untuk memperoleh kepastian hak dan hukum, sehingga lembaga Asuransi Tanah setidaknya dapat memberikan jaminan manakala sertipikat tersebut hapus karena putusan pengadilan/musnah sebagai wujud pengalihan Risiko dengan catatan mereka diberikan suatu kontra prestasi berupa pembayaran uang premie.Diharapakan Asuransi Tanah menjadi Asuransi Wajib sehingga perlu peran besar dari pemerintah melalui pembentukan BUMN Asuransi Tanah, atau dengan regulasi yang ketat dapat mengikutkan lembaga asuransi yang mampu bekerja sama atas pembayaran ganti kerugian hak atas tanah yang telah terdaftar terutama yang berpotensi hapus, konsep pembayaran premi dibayarkan cukup satu kali saja pada saat sertipikat tanah diterbitkan. dan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas Pendaftaran Tanah sebagai upaya menekan risiko hak atas tanah dapat dibatalkan.
Sebagai sebuah konsep gagasan, Kelembagaan “Asuransi Tanah” dapat mempelajari atau meniru pelaksanaan di beberapa negara seperti di Jerman, asuransi hak milik mewajibkan perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian pemegang hak properti jika menderita kerugian karena rusak maupun untuk mempertahankan hak secara hukum sehingga haknya tidak akan hilang karena adanya gugatan dari pihak lain. kalau boleh berucap sebenarnya jerman telah melaksanakan Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang notabene kita sendiri sebagai sebuah negara belum mampu mewujudkannya. (***)