Matahari pagi Idul Fitri 2025 baru saja naik beberapa derajat. Sinarnya bersembunyi di balik awan, namun menerangi langit biru dan wajah-wajah penuh harap dua ribu jamaah yang masih enggan beranjak dari lapangan eks Markas Besar AURI, Pancoran, Jakarta Selatan. Tak ada yang tergesa pulang, meski ketupat sayur menunggu di rumah.
Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka: Khatib hari ini, Ustadz Falah Fauzan, dai yang sama luwesnya saat mengisi pengajian di mushala kampung maupun mungkin di ballroom hotel berbintang, sedang menceritakan kisah yang membuat semua telinga terjaga. Suaranya menyusup hingga akar rumput lapangan yang masih basah.
“Bayangkan, wahai jamaah sekalian,” Ustadz Fauzan menggelegar, namun tetap mengandung senyum dikulum. Kita duduk di Masjid Nabawi. Udara panas, angin gurun menyapu debu yang menempel di pintu-pintu rumah kaum Anshar. Di sana, Rasulullah tiba-tiba bersabda, "Akan datang kepada kalian seorang lelaki calon ahli surga."
Jamaah di Pancoran mulai berbisik, sementara para sahabat di zaman Nabi kala itu pasti lebih dari sekadar berbisik. Mereka saling melirik, menajamkan pandangan ke arah pintu masjid. Siapa gerangan yang beruntung itu bakal datang? Mungkinkah Abu Bakar? Umar? Utsman? Ali? Mereka pilar-pilar Islam yang layak menjadi calon surga!
Tapi, yang muncul bukanlah mereka. Sebaliknya, sosok yang melangkah masuk hanyalah seorang lelaki Anshar biasa, yang janggutnya diceritakan dalam hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Albani, masih basah oleh air wudhu, sendalnya disangkutkan di tangan kiri untuk dibawa masuk ke dalam masjid.
Suasana hening. Beberapa sahabat, kalau boleh kita menebak-nebak ekspresinya, mungkin mulai merasa ada teka-teki besar yang perlu dipecahkan. Pikiran mereka serasa diaduk-aduk ihwal calon penghuni surga. Bisa jadi ada yang berbisik, "Siapa dia?" atau "Apa keistimewaannya sampai disebut Nabi bakal jadi calon surga?"Hari berikutnya, skenario yang sama terjadi lagi. Nabi mengulang sabda beliau, dan yang muncul adalah lelaki Anshar itu juga. Wajah-wajah para sahabat makin penasaran. Hari ketiga, pengulangan kembali terjadi. Kali ini, seorang sahabat muda, Abdullah bin Amr bin Ash, memutuskan untuk tidak lagi hanya menjadi penonton.
“Jamaah sekalian, kalau ini zaman kita, Abdullah bin Amr ini cocok jadi wartawan investigasi,” canda Ustadz Fauzan, yang segera disambut tawa kecil dari para hadirin jamaah shalat Idul Fitri kali ini. Abdullah memutuskan diri akan menyelidiki sosok lelaki Anshar itu, seraya memikirkan caranya.
Dengan kecerdikan seorang wartawan investigasi, Abdullah bin Amr menghampiri lelaki misterius itu dan berkata, "Aku sedang ada sedikit masalah dengan ayahku, dan aku bersumpah tidak akan pulang selama tiga hari. Bolehkah aku tinggal di rumahmu?" Sang lelaki Anshar, tanpa curiga sedikit pun, mengangguk ramah. "Silakan, saudaraku."
Selama tiga malam menginap di sana, Abdullah mengamati gerak-gerik lelaki itu. Apakah ia bangun sepanjang malam untuk tahajud? Tidak. Hanya tidur nyenyak, lalu ketika bangun ia berdzikir dan bertakbir hingga tiba saat mendirikan shalat subuh. Mungkin dia rajin puasa sunnah? Tidak juga. Makan seperti biasa, tak tampak ada kesalehan dan ibadah yang berlebihan.