Dalam perspektif critical discourse analysis (CDA), sebagaimana dikembangkan oleh Fairclough, komunikasi politik tidak netral. Ia adalah medan kontestasi ideologi, tempat kekuasaan berupaya mempertahankan hegemoninya lewat bahasa, simbol, dan narasi. Di Korea Selatan, narasi resmi pemerintah yang mencoba memonopoli makna “ancaman negara” dilawan oleh warga sipil dengan narasi tandingan: bahwa justru tindakan presidenlah yang subversif terhadap konstitusi.
Diskursus ini bukan hanya akademik, tetapi hadir dalam bentuk meme, poster, orasi jalanan, hingga petisi daring—semua menjadi praktik wacana yang menginterupsi dominasi. Di sinilah pelajaran penting bagi Indonesia: jika ruang publik kita dibiarkan dibanjiri narasi tunggal kekuasaan, tanpa kritik dan diskursus tandingan yang kuat dari masyarakat sipil, maka demokrasi hanya akan menjadi formalitas prosedural.
Maka yang mendesak bukan hanya pergantian elite, akan tetapi perebutan kembali ruang wacana oleh warga negara yang kritis, terkoneksi, dan sadar akan hak konstitusionalnya.
Gerakan Warga yang Berakar
Pemakzulan Yoon Suk Yeol bukan semata hasil dari mekanisme politik di parlemen dan mahkamah konstitusi, tetapi merupakan puncak dari gerakan civil society yang terorganisir dan berkelanjutan. Ribuan warga dari berbagai usia dan latar belakang turun ke jalan selama berbulan-bulan. Demonstrasi berlangsung damai namun kuat, membawa pesan moral yang jelas: kekuasaan harus dijalankan secara bertanggung jawab dan transparan.
Gerakan ini tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari diskursus panjang di ruang publik. Media massa Korea Selatan memainkan peran penting dalam mengungkap skandal yang melibatkan Presiden Yoon, sementara media sosial menjadi kanal bagi warga untuk berdiskusi dan mengorganisir diri. Kampus-kampus, kelompok agama, dan komunitas warga menjadi pusat-pusat diskusi politik yang sehat. Dalam semua ini, civil society berfungsi sebagai ruang deliberatif—bukan sekadar tempat melampiaskan emosi, tetapi arena penyemaian kesadaran politik.Di tengah derasnya arus informasi digital yang kompleks dan sering kali membingungkan, masyarakat membutuhkan figur atau opinion leaders yang dapat mengurai isu, memberi arah, dan membentuk narasi kolektif. Melalui live streaming, podcast, forum diskusi daring, hingga unggahan media sosial yang viral, opinion leaders ini membentuk ekosistem diskursif yang hidup dan membumi—jauh dari jargon elite, tapi tetap tajam secara substansi.
Di Indonesia, posisi opinion leaders juga sangat menentukan, namun kerap terjebak dalam dualitas: menjadi penguat demokrasi atau justru alat hegemoni kekuasaan. Banyak tokoh publik yang justru kehilangan independensi, terseret dalam polarisasi, atau terkooptasi oleh mesin politik dan ekonomi.
Padahal dalam konteks demokrasi partisipatif, opinion leaders seharusnya menjadi penggerak kesadaran warga, bukan corong elite. Tantangannya bukan hanya pada integritas individu, tetapi juga pada ekosistem yang memungkinkan mereka tumbuh: media yang bebas, publik yang literat, dan ruang digital yang tidak dibungkam oleh buzzer atau algoritma yang mempersempit pandangan.