Hikayat Manis Orang Melayu: Dari Teh Telor hingga Es Kepal

Foto Yoss Fitrayadi & Iyon Parera
×

Hikayat Manis Orang Melayu: Dari Teh Telor hingga Es Kepal

Bagikan opini

Orang Melayu kita, sejak dahulu, memang gemar yang manis-manis. Dari tutur kata, cara menyambut tamu, hingga selera rasa. Manis tak hanya urusan lidah—ia bagian dari cara kita hidup. Maka tak heran, dari Minangkabau sampai Riau, dari pesisir Sumatra hingga ke kampung-kampung di Kalimantan Barat, kita temukan jejak minuman manis yang begitu lekat: teh telor, es kacang merah, sirup markisa, sampai yang lebih modern seperti es kepal.

Minuman-minuman ini bukan sekadar pelepas dahaga. Ia adalah lambang keakraban, pelengkap hajatan, bahkan menjadi alat ukur keramahan tuan rumah. Dalam adat Minang misalnya, tamu takkan dibiarkan duduk terlalu lama tanpa disuguhi minuman. Minimal kopi atau teh hangat yang manis. Di Lapau, yang kita pesan adalah teh telor—manis, hangat, dengan lapisan busa yang harum. Di kampung Melayu pesisir Riau dan seantero Aceh, teh susu kental manis menjadi hidangan wajib selepas Magrib, penutup hari yang melelahkan di laut atau ladang. Nama minuman: Teh Tarik.

Namun, di tengah kecintaan ini, ada pertanyaan yang menggelitik: apakah ini benar-benar warisan leluhur kita? Atau hanya warisan yang baru terasa akrab karena sudah dua atau tiga generasi bersama kita?

Sebagian besar dari kita menyangka bahwa minuman seperti teh telor, teh tarik yang banyak susu kental manisnya atau es kepal adalah bagian dari tradisi turun-temurun. Tapi kalau kita tengok ke lembaran sejarah, kenyataannya sedikit berbeda.

Teh, misalnya, baru masuk ke Nusantara pada akhir abad ke-19, dibawa oleh Belanda dan ditanam di kebun-kebun besar di Jawa dan Sumatra. Awalnya, ia bukan minuman rakyat, tapi komoditas ekspor. Susu kental manis bahkan lebih muda lagi. Produk kalengan ini mulai dikenal di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai alternatif susu segar yang mudah rusak di daerah tropis.

Jadi kalau kita tarik mundur ke zaman Hang Tuah atau Datuk Ketumanggungan, dari Sultan Iskandar Muda sampai Raja Ali Haji, tak satu pun dari mereka mengenal teh tarik atau es kepal. Mereka lebih akrab dengan air nira, air kelapa muda, atau infus rempah seperti daun pandan dan serai.

Yang kita kira tradisi, rupanya baru hadir belakangan.

Kalau begitu, mengapa dulunya minuman manis ini tak menjadi masalah kesehatan? Jawabannya sederhana: karena dulu, gula adalah kemewahan, bukan kebiasaan. Ia hadir dalam perayaan, bukan keseharian. Masyarakat Melayu tempo dulu pun hidup dalam ritme yang aktif. Mereka berkebun, melaut, berjalan kaki, mengangkat kayu dan air. Kalori yang masuk terbakar dengan cepat.

Baca juga: Tarif Trump

Hari ini berbeda. Kita sudah naik sepeda motor kemana-mana. Bahkan menggiring hewan ternak ke kandang, baik itu itik atau kambing bahkan sapi dan kerbau, saat ini kita lakukan sambil mengendarai sepeda motor. Kita hidup dalam dunia yang serba cepat tapi kurang gerak. Duduk terlalu lama, bergerak terlalu sedikit. Gula pun tak lagi langka - ia ada dalam teh botol, roti tawar, saus sambal, hingga minuman kekinian yang jadi tren di kota dan desa.

Di Indonesia, konsumsi gula terus meningkat, sementara aktivitas fisik menurun drastis. Angka diabetes tipe 2 naik pelan tapi pasti, terutama di daerah perkotaan dan semi-perkotaan. Di Malaysia, situasinya tidak lebih baik. Sekitar satu dari lima orang dewasa kini hidup dengan diabetes. Pemerintah mereka telah meluncurkan kampanye pengurangan konsumsi gula dan menerapkan pajak atas minuman berpemanis.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini