'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Foto Catatan Cak AT
×

'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Bagikan opini
Ilustrasi 'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Setiap hari, lima kali sehari, seorang Muslim berdiri menghadap kiblat. Dia memulai ritual akbar yang disebut shalat dengan membentangkan tangannya, mengucap takbir, lalu membaca surah al-Fatihah dengan total sekitar 17 kali sesuai jumlah rakaat shalat wajib kita.

Dan dalam lima kali shalat sehari itu, ketika melafalkan bacaan wajib al-Fatihah dalam shalat, lidahnya meluncurkan kalimat yang sama: _"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in"_ — "Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan."

Tunggu sebentar. Perhatikan lagi bacaan tadi dengan seksama: _kami_? Siapa itu kami? Kenapa bukan: _aku_? Bukankah dia shalat sendirian di kamar kos ukuran 2x3 meter, dengan kipas angin mengeluarkan suara mendengkur lebih keras dari bacaannya?

Mari kita mulai dari fakta formal: Dalam tubuh manusia dewasa, terdapat sekitar 37,2 triliun sel (menurut penelitian dari _Annals of Human Biology,_ 2013). Tubuh kita juga dihuni oleh sekitar 39 triliun bakteri (kalau kamu merasa jijik sekarang, itu normal).

Baca juga: Tarif Trump

Belum cukup? Tambahkan fakta kecil bahwa tubuh kita memiliki lebih dari 600 otot, 206 tulang, sekitar 78 organ, dan 42 kelenjar. Itu baru hitungan kasar. Kalau mau lebih teliti, menghitung jumlah jaringan dan kelenjar ini bisa bikin kamu pusing sendiri.

Jadi, secara statistik, tubuh kita sebenarnya lebih banyak dihuni bakteri dari sel manusia itu sendiri. Ya, triliunan bakteri, berjuta-juta sel, aneka kelenjar, mitokondria, protein hidup, virus jinak, enzim, hormon, semuanya berjubel membentuk pasar malam biologis yang ramai di dalam tubuh kita.

Dengan kata lain, ketika seorang Muslim berkata _kami_ dalam shalatnya, dia memang tidak sendirian. Ia membawa serta seluruh komunitas hidup yang menjadi bagian dirinya. Bahkan bisa dikatakan, dia shalat "berjamaah" dalam dirinya sendiri: bersama hati, bersama usus, bersama bakteri baik, bersama sekian banyak makhluk Allah yang hidup, berzikir, dan bekerja tanpa henti mempertahankan hidupnya.

Jadi, mengapa _"kami"_? Karena manusia bukan makhluk tunggal. Dia adalah semesta berjalan, ekosistem ambulans. Dia bukan hanya _aku,_ tapi _kami_ — kumpulan makhluk hidup yang bersama-sama bekerja agar kamu bisa berdiri, rukuk, sujud, dan berdoa.

Para bakteri ini bukan sekadar menumpang hidup. Mereka bekerja. Mereka membantu mencerna makanan, memproduksi vitamin, memperkuat sistem imun, bahkan menjaga kestabilan emosi (melalui jalur yang disebut _gut-brain axis_). Tanpa mereka, manusia mungkin sudah jatuh sakit, putus asa, dan gagal sujud karena kram perut.

Tanpa sel-sel darah merah yang sopan mengantar oksigen, tanpa bakteri baik yang membantu pencernaan, tanpa neuron-neuron yang setia mengantarkan sinyal, bahkan tanpa bulu-bulu halus yang melindungi kulitmu, kamu mungkin sudah tidak bisa mengatakan apa pun, apalagi _"iyyaka na'budu"._

Bagikan

Opini lainnya
Terkini